Paradoks
Akhi dan Ukhti
Kaifa haluk Ukhty?
Gimana pelajarannya Akhy?
Penggalan-penggalan
kalimat itu tidak sengaja saya baca dari handphone keponakan saya yang pulang dari
pondok. Kebetulan, di pondoknya dilarang membawa gadget. Jadi ketika pulang
ke rumah, keponakanku seakan menemukan apa yang selama ini telah hilang dalam
kesehariannya.
Tapi, itu hal masih termasuk yang ‘wajar’ sih. Yang nggak wajar adalah ketika saya membaca
sms-sms di handphonenya. Baik di
kotak inbox atau di mesenger dan WAnya. Pembaca pun bisa menduga, apa yang mereka
sedang lakukan dengan chatingan mereka. Kita bisa langsung mengatakan bahwa mereka
sedang bercerita ria layaknya sesama pacar yang saling merindukan. Tapi, saya
kira nggaknyambung banget deh kalau aktivitas pacaran menggunakan
istilah-istilah islami. Katakanlah ungkapan-ungkapan akhi, ukhti, ana, antum dan sebagainya.
Maksud islami adalah para aktivis, da’i dan santri. Tapi, jangan
salahkan kata islami tersebut dengan hadirnya para oknum yang mengatasnamakan
‘pacaran islami’. Bah!Entar kesananya ada ‘judi islami’, ‘korupsi
islami’, dan islami-islami lainnya. Nggak lucu jika seandainya seorang penjudi
berceloteh seperti ini, “Alhamdulillah… Ana menang dua kali taruhan.
Antum-antum berani nggak lawan saya.”
Mungkin dalam bayangan para oknum itu, pacaran yang haram adalah
pacaran gaya remaja metropolitan yang tercekoki budaya hollywood. Kissing, dan
yang lebih dari itu sudah dianggap biasa oleh remaja metropolitan. Hal itu
sudah tidak dianggap tabu lagi. Tapi, apakah aktivitas sms basa-basi dengan
lawan jenis, nelpon berjam-jam dengan teman ikhwan di pondok, facebook-an dengan lelaki ajnabi bukan termasuk pacaran? Mereka
menganggapnya boleh. Karena memakai embel-embel ana, ukhti, akhi? Mereka
menganggapnya hanya sebatas obrolan teman. Padahal hati mereka mengakui
sebaliknya? Bahkan memakai istilah ta’arufan segala. Dan endingnya mengatakan, “Ana uhibuka/i fillah.” (aku mencintaimu karena Allah).
Jangan sampai kita memperalat istilah-istilah itu hanya untuk
kesenangan kita. Bisa jadi, orang-orang di luar sana, yang lebih awam dari
kita, yang kita anggap rendah ilmunya di banding kita, mereka bisajadi lebih
mulia di hadapan-Nya. Wajar mereka melakukan hal yang dilarang, karena bisa
jadi mereka belum mengetahui ilmunya. Sedangkan kita? Hanya karena memakai
jilbab besar, niqab, berkaus kaki untuk yang akhwat, kita merasa mulia dan
jarang mengintrospeksi diri. Bahkan dengan jerat ikhtilat dan khalwat sekali pun, kita buta mata. Buktinya,
banyak dari kita yang kena virus pink dan membungkusnya dengan istilah-istilah
islami. (‘Buang’ aja deh buku-buku teks pesantren ke ‘tong sampah’)
Lain lubuk lain ikan. Lain ladang lain belalang. Begitulah
pribahasa melayu yang sering saya dengar. Lain tempat, lain juga kasus yang
terjadi di dalamnya. Contohnya seperti cerita kakak perempuan yang menempuh S1
di salah satu Ma’had
‘Aly (Sekolah Tinggi Islam).
Ceritanya, ketika jam istirahat di tempatnya menuntut ilmu, para
akhwat biasa berkumpul di kantin. Yang jadi masalah bukan acara
kumpul-kumpulnya. Tapi apa yang mereka lakukan ketika ‘halaqahan’ tersebut.
Pengen tahu? Mereka ternyata bergosip. Tapi gosip mereka bukan gosip selebriti
ala pelaku entertainment, bukan pula gosip ibu-ibu yang ngomongin aib tetangga.
Para akhwat tersebut bergosip seputar dunia ma’had. Mulai dari desas-desus
cinta sesama mahasantri, desas-desus ini itu, ditambah juga–hal yang biasa
terjadi pada akhwat-ngomongin orang alias membuka aib orang lain.
Tau nggak ukh, si Fulanah tuh orangnya nyebelin banget. Pas kemarin aja aku… bla…bla…bla…
Tau nggak ukh, si Fulanah tuh orangnya nyebelin banget. Pas kemarin aja aku… bla…bla…bla…
Eh, antum belum pada tau
ya, akhi Fulan kayaknya suka sama ana. Tadi aja pas berpapasan di kantin. Dia
diam-diam ngelirik ana tahu!
Ih, antum suka ge-er
deh. Kan akhi Fulan udah mau merit. Terus akhi Fulan yang bulan kemarin mau
dikemanain. Katanya kamu suka juga sama dia.
Terlepas dari semua itu, saya hanya mau bilang; ternyata hak
asasi manusia itu eksistensinya masih ada. Ana, antum akhi dan ukhti pun
ternyata punya hak untuk bisa menikmati perikehidupan orang-orang di luar
mereka. Dan emansipasi juga masih berlaku bagi para akhwat yang sudah merasa
bosan dengan yang selama ini mereka jalani.
Udah ah, nanti pembaca menganggap saya provokator lagi. [Husni Mubarok/Bersamadakwah]
Editor: Pirman Bahagia
Sumber :
Komentar
Posting Komentar