Langsung ke konten utama

Labelnya Islami, Tapi!!!


Paradoks Akhi dan Ukhti

Kaifa haluk Ukhty?
Gimana pelajarannya Akhy?

Penggalan-penggalan kalimat itu tidak sengaja saya baca dari handphone keponakan saya yang pulang dari pondok. Kebetulan, di pondoknya dilarang membawa gadget. Jadi ketika pulang ke rumah, keponakanku seakan menemukan apa yang selama ini telah hilang dalam kesehariannya.


Tapi, itu hal masih termasuk yang ‘wajar’ sih. Yang nggak wajar adalah ketika saya membaca sms-sms di handphonenya. Baik di kotak inbox atau di mesenger dan WAnya.  Pembaca pun bisa menduga, apa yang mereka sedang lakukan dengan chatingan mereka. Kita bisa langsung mengatakan bahwa mereka sedang bercerita ria layaknya sesama pacar yang saling merindukan. Tapi, saya kira nggaknyambung banget deh kalau aktivitas pacaran menggunakan istilah-istilah islami. Katakanlah ungkapan-ungkapan akhi, ukhti, ana, antum dan sebagainya.
Maksud islami adalah para aktivis, da’i dan santri. Tapi, jangan salahkan kata islami tersebut dengan hadirnya para oknum yang mengatasnamakan ‘pacaran islami’. Bah!Entar kesananya ada ‘judi islami’, ‘korupsi islami’, dan islami-islami lainnya. Nggak lucu jika seandainya seorang penjudi berceloteh seperti ini, “Alhamdulillah… Ana menang dua kali taruhan. Antum-antum berani nggak lawan saya.”
Mungkin dalam bayangan para oknum itu, pacaran yang haram adalah pacaran gaya remaja metropolitan yang tercekoki budaya hollywood. Kissing, dan yang lebih dari itu sudah dianggap biasa oleh remaja metropolitan. Hal itu sudah tidak dianggap tabu lagi. Tapi, apakah aktivitas sms basa-basi dengan lawan jenis, nelpon berjam-jam dengan teman ikhwan di pondok, facebook-an dengan lelaki ajnabi bukan termasuk pacaran? Mereka menganggapnya boleh. Karena memakai embel-embel ana, ukhti, akhi? Mereka menganggapnya hanya sebatas obrolan teman. Padahal hati mereka mengakui sebaliknya? Bahkan memakai istilah ta’arufan segala. Dan endingnya mengatakan, “Ana uhibuka/i fillah.” (aku mencintaimu karena Allah).
Jangan sampai kita memperalat istilah-istilah itu hanya untuk kesenangan kita. Bisa jadi, orang-orang di luar sana, yang lebih awam dari kita, yang kita anggap rendah ilmunya di banding kita, mereka bisajadi lebih mulia di hadapan-Nya. Wajar mereka melakukan hal yang dilarang, karena bisa jadi mereka belum mengetahui ilmunya. Sedangkan kita? Hanya karena memakai jilbab besar, niqab, berkaus kaki untuk yang akhwat, kita merasa mulia dan jarang mengintrospeksi diri. Bahkan dengan jerat ikhtilat dan khalwat sekali pun, kita buta mata. Buktinya, banyak dari kita yang kena virus pink dan membungkusnya dengan istilah-istilah islami. (‘Buang’ aja deh buku-buku teks pesantren ke ‘tong sampah’)
Lain lubuk lain ikan. Lain ladang lain belalang. Begitulah pribahasa melayu yang sering saya dengar. Lain tempat, lain juga kasus yang terjadi di dalamnya. Contohnya seperti cerita kakak perempuan yang menempuh S1 di salah satu Ma’had ‘Aly (Sekolah Tinggi Islam).
Ceritanya, ketika jam istirahat di tempatnya menuntut ilmu, para akhwat biasa berkumpul di kantin. Yang jadi masalah bukan acara kumpul-kumpulnya. Tapi apa yang mereka lakukan ketika ‘halaqahan’ tersebut. Pengen tahu? Mereka ternyata bergosip. Tapi gosip mereka bukan gosip selebriti ala pelaku entertainment, bukan pula gosip ibu-ibu yang ngomongin aib tetangga. Para akhwat tersebut bergosip seputar dunia ma’had. Mulai dari desas-desus cinta sesama mahasantri, desas-desus ini itu, ditambah juga–hal yang biasa terjadi pada akhwat-ngomongin orang alias membuka aib orang lain.

Tau nggak ukh, si Fulanah tuh orangnya nyebelin banget. Pas kemarin aja aku… bla…bla…bla…
Eh, antum belum pada tau ya, akhi Fulan kayaknya suka sama ana. Tadi aja pas berpapasan di kantin. Dia diam-diam ngelirik ana tahu!
Ih, antum suka ge-er deh. Kan akhi Fulan udah mau merit. Terus akhi Fulan yang bulan kemarin mau dikemanain. Katanya kamu suka juga sama dia.
Terlepas dari semua itu, saya hanya mau bilang; ternyata hak asasi manusia itu eksistensinya masih ada. Ana, antum akhi dan ukhti pun ternyata punya hak untuk bisa menikmati perikehidupan orang-orang di luar mereka. Dan emansipasi juga masih berlaku bagi para akhwat yang sudah merasa bosan dengan yang selama ini mereka jalani.
Udah ah, nanti pembaca menganggap saya provokator lagi.  [Husni Mubarok/Bersamadakwah]
Editor: Pirman Bahagia
Sumber :



 Dengan  beberapa penambahan dan pengurangan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajib Diketahui Oleh Pecinta Sepak Bola...

Ada apa dengan kostum sepak bola? Sepak bola merupakan olah raga yang paling banyak penggemarnya, setiap penggemar memiliki klub dan pemain faforit. Terkadang semua aksesoris yang bertuliskan nama dan gambar klub atau pemain idolapun menjadi koleksi wajib bagi para pecinta sepak bola. Nah, bagaimana bila kita sebagai seorang muslim menjadi penggemar klub  atau pemain yang kafir kemudian membeli pernak-pernik yang berkaitan dengan mereka terutama kostum yang mengandung unsur atau lambang agama dan keyakinan mereka seperti lambang salib dan setan merah? Jika kita perhatikan terdapat beberapa kostum tim sepak bola yang mengandung unsur salib seperti Barcelona, AC Milan, Timnas Brazil, Timnas Portugal, Intermilan, sedangkan lambang setan terdapat pada  MU.  Meskipun begitu masih banyak kaum muslimin yang tidak memperdulikan hal ini khususnya Indonesia. Berbeda dengan dua Negara bagian Malaysia beberapa tahun yang lalu telah melarang hal ini. Dewan Keagamaan Johor d

Mengisi Ramadan dengan nasyid

  Dalam KBBI nasyid diartikan sebagai lagu yang mengandung unsur keislaman, sedangkan dalam kamus “ Lisanul Arab ” nasyid artinya menyanyikan syair. Dari dua pengertian ini dapat kita pahami bahwa nasyid adalah lagu atau nyanyian. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Hakim hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya bahwa nasyid yang sekarang itu adalah nyanyian, bukan seperti yang dibaca oleh para sahabat saat menggali parit atau saat perang, yang mereka baca adalah syair.     Kita sama-sama tahu bahwa membaca syair oleh orang arab memiliki cara tersendiri, jika dicari persamaannya di Indonesia maka membaca syair serupa dengan membaca pantun atau puisi. Apakah membaca puisi atau pantun sama dengan cara menyanyikan nasyid atau kasidah itu? Jawabnya jelas tidak sama. Lalu apa hukum menyanyikan nasyid? Syaikh Shaleh Al Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video tanya jawab menyebutkan “kami tidak menemukan pensyariatannya, jika nasyid tersebut tidak disandarkan

Kita pasti berpisah, semoga esok kembali berkumpul

Dalam menjalani kehidupan ini terkadang kita harus pergi, pergi jauh dari kampung halaman. Banyak tujuan yang kita bawa, ada yang menuntut ilmu, ada yang mencari nafkah dan tujuan lainnya. Walau apapun tujuannya, ke manapun perginya, pasti ia merindui kampung halamannya, pasti ia merindukan orang-orang yang disayangi, ingin kembali berkumpul dengan keluarga, sebab di sana ada kebahagiaan. Keindahan dan kedamaian itu ada di kampung halaman, ketika hati gelisah maka pulanglah, ada orang tua di sana, ada sanak saudara, ada sawah yang berjenjang dilengkapi burung-burung yang berbondong, ada sungai  beserta suara gemerciknya dan bebukitan dengan pohong-pohon yang menghijau. Indah dan damai.   Kita pasti kembali   Ibnu Umar  rhadiyallahu anhuma   berkata bahwa Rasulullah  shalallahu alaihi wasallam   bersabda :   كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاء