Gelombang
Dahsyat Tar Tar
Bayangkanlah
dahsyatnya kehancuran yang diakibatkan oleh gelombang Tsunami yang melanda Aceh
dan Jepang beberapa tahun silam. Mayat-mayat bergelimpangan. Bangunan,
pepohonan, kebun, binatang ternak, sarana umum, semuanya hancur berantakan.
Kota yang tadinya ramai mendadak sepi, kelam dan berubah menjadi seperti kota
hantu. Seperti itulah yg terjadi dengan negeri-negeri Islam yang terbentang
dari Samarkhan hingga Baghdad ketika dilewati oleh Pasukan Mongol.
Bangsa Mongol
atau Tartar telah diisyaratkan kemunculannya oleh Nabi saw. Baginda saw
menyebut mereka sebagai Bani Qantura dengan ciri-ciri fisik bermuka lebar dan
bermata kecil. Hanya dengan kekuatan 200.000 tentara dan berlangsung hanya
dalam waktu 40 hari Kekhalifahan Abbasiyah lenyap dari muka bumi.
Kejatuhan
Baghdad merupakan peristiwa sangat tragis dalam sejarah kemanusiaan. Selama 500
tahun bertahta dengan segala kebesarannya Kekhalifahan Abbasiyah Baghdad luluh
lantak dihancurkan. Sebanyak 1,8 juta kaum muslimin yang berada di kota Baghdad
disembelih dan kepalanya disusun menjadi gunung tengkorak sebagai peringatan
bagi negara-negara yang melawan kekuatan Mongol. Khalifah Sultan Al-Mu’tasim
dibantai beserta 50.000 tentara pengawalnya. Sejak pembantaian itu selama 3,5
tahun umat Islam hidup tanpa Khalifah.
Ada ahli
sejarah menukilkan situasi saat itu bagaimana Hulagu Khan ini melakukan
pembunuhan terhadap khalifah dengan cara memasukkannya ke dalam gulungan
permadani sementara pasukan Mongol menginjak-injak dengan kuda-kuda mereka.
Tidak cukup dengan itu, tentara Tartar yang biadab ini memusnahkan ribuan
perpustakaan yang memuat jutaan kitab- kitab, manuskrif-manuskrif sebagai
khazanah peradaban di Baghdad dengan mencampakkannya ke dalam laut sehingga air
laut bertukar kehitaman akibat banyaknya kitab- kitab tersebut.
Ketika itu,
seluruh negeri Islam yaitu Baghdad, Syria dan Asia Tengah sudah jatuh ke tangan
tentara Mongol. Hanya tinggal tiga negeri Islam yang belum dimasuki yaitu
Makkah, Madinah dan Mesir. Maka Hulagu Khan terus merangsek berupaya menaklukkan
negeri yang lain.
Siapa yang
menduga bangsa primitif yang jauh dari peradaban pernah mengusai 1/2 dari
daratan bumi ini. Bangsa Mongol yang nomaden memutarbalikan semua fakta
sejarah. Bagi dunia Islam, penaklukkan oleh Mongol ini
mungkin dilihat sebagai suatu pendahuluan, sekaligus miniatur keluarnya Ya’juj
Ma’juj pada akhir zaman.
Kengerian yang
ditimbulkannya seolah belum hilang di tempat-tempat yang pernah diserbu oleh
pasukan Jenghis Khan ini. Saat berkunjung ke Herat, Afghanistan, Mike Edwards
mendengar komentar masyarakat tentang peristiwa yang terjadi tujuh setengah
abad yang lalu itu, seolah baru saja terjadi sehari sebelumnya. “Hanya sembilan
saja! Seluruh yang masih bertahan hidup di sini – sembilan orang!” seru seorang
warga tua saat menggambarkan serangan Mongol ke kota itu (National Geographic,
Desember 1996). Dan Herat bukan satu-satunya kota yang menerima nasib buruk
dari pasukan Mongol.
Para ulama
Islam ketika itu, hampir-hampir tidak mampu mencatat kronologis peristiwa
serangan yang tidak berperikemanusiaan ini. Tidak pernah terjadi malapetaka
sedasyat itu dalam sejarah bangsa manapun. Seperti yang terucap dari panglima
perang Mongol saat pertama kali menjebol kota Baghdad, “Aku adalah malapetaka
yang diturunkan Tuhan ke muka bumi untuk menghukum kalian…”
Quthuz Sang
Penakluk Gelombang
Saifuddin
Quthuz adalah satu di antara tokoh besar dalam sejarah muslimin. Nama aslinya
adalah Mahmud bin Mamdud.. Ia berasal dari keluarga muslim
berdarah biru. Quthuz adalah putra saudari Jalaluddin Al-Khawarizmi, Raja
Khawarizmi yang masyhur pernah melawan pasukan Tartar dan mengalahkan mereka,
namun kemudian ia kalah dan lari ke India. Ketika ia sedang lari ke India,
Tartar berhasil menangkap keluarganya. Tartar membunuh sebagian mereka dan
memperbudak sebagian yang lain.
Mahmud bin
Mamdud adalah salah satu dari mereka yang dijadikan budak. Tartar menjuluki si
Mahmud dengan nama Mongol, yaitu Quthuz, yang berarti “Singa Yang Menyalak”.
Tampaknya sedari kecil Quthuz memiliki karakter orang yang kuat dan gagah.
Kemudian Tartar jual si Mahmud kecil di pasar budak Damaskus. Salah seorang
bani Ayyub membelinya. Dan ia dibawa ke Mesir. Di sini, ia pindah dari satu
tuan ke tuan yang lain, sampai akhirnya ia dibeli oleh Raja Al-Mu’izz Izzuddin
Aibak dan kelak menjadi panglima besarnya.
Dalam kisah Quthuz
ini, kita bisa mencatat dengan jelas bagaimana skenario ajaib Allah SWT. Tartar
telah memperdaya muslimin dan memperbudak salah satu anak-anak muslimin dan
mereka jual langsung di pasar budak Damaskus. Untuk kemudian ia
diperjualbelikan dari satu tangan ke tangan lainnya, yang akhirnya sampai ke
suatu negeri yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Boleh jadi karena usianya
yang masih kecil ia tidak melihat negeri jauh ini. Namun, pada akhirnya ia
menjadi raja di negeri asing itu dan sepak terjang Tartar yang membawanya dari
ujung dunia Islam ke Mesir pun harus berakhir di tangannya!
Subhanallah
yang telah mengatur dengan Maha Lembut dan memperdaya dengan Maha Bijak. Tiada
sesuatupun di bumi dan langit yang samar bagi-Nya.
ومكروا مكرًا ومكرنا مكرًا وهم لا يشعرون
“Dan mereka pun
merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula),
sedang mereka tidak menyadari.” (An-Naml [27]: 50)
Quthuz
–sebagaimana mamalik (budak yang dididik militer) lainnya–tumbuh dengan
pendidikan agama yang benar. Semangat Islam yang kuat bergelora di dalam
hatinya. Sejak kecil, ia dilatih dengan seni menunggang kuda, metode
pertempuran, seluk-beluk manajemen dan leadership. Ia tumbuh menjadi seorang pemuda gagah
berani, mencintai dan menjunjung tinggi agamanya. Ia juga seorang yang kuat,
penyabar, dan perkasa. Selain itu semua, ia juga dilahirkan dari keluarga raja.
Masa
kanak-kanak Quthuz layaknya para pangeran yang lain. Hal ini membuat dirinya
begitu percaya diri. Ia tidak asing dengan masalah kepemimpinan, manajemen
negara dan kekuasaan. Di atas itu semua, keluarganya hancur oleh Tartar. Hal
ini–tentu saja–membuat dirinya paham betul dengan bencana Tartar. Sebab orang
yang menyaksikan tidaklah seperti yang mendengar.
Semua faktor
ini berpadu menjadikan Quthuz seorang yang memiliki karakter sangat unik. Ia
merasa ringan dengan penderitaan, tidak takut dengan para musuh bagaimanapun
banyak jumlahnya atau unggul kekuatan mereka.
Pendidikan
Islam dan militer, juga pendidikan untuk berpegang teguh kepada Allah, agama
dan percaya diri, semua itu mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan Quthuz
–rahimahullah-.
Nama Quthuz
mulai muncul ke permukaan setelah terbunuhnya Raja Al-Muizz Izzuddin Aibak dan
istrinya Syajarah Ad-Dur dihukum mati. Kemudian kekuasaan beralih kepada “Sultan
Bocah” Al-Manshur Nuruddin Ali bin Izzuddin Aibak. Quthuz-lah yang memegang
perwalian atas sultan kecil tersebut.
Quthuz meskipun
ia secara real menyetir roda pemerintahan di Mesir, namun pada kenyataannya
yang duduk di kursi kekuasaan adalah seorang sultan bocah. Tentu hal ini
melemahkan wibawa pemerintah di Mesir dan merongrong kepercayaan rakyat kepada
rajanya serta menguatkan niat musuh-musuhnya karena mereka melihat raja adalah
seorang bocah.
Dengan
mempertimbangkan ancaman Tartar yang menakutkan, problema internal yang
mencekik, kekacauan dan pemberontakan dari mamalik bahriyyah dan ambisi para
emir Bani Ayyub di Syam, maka Quthuz melihat tiada makna keberadaan “Sultan
Bocah” Nuruddin Ali di kursi negara terpenting di kawasan, yaitu Mesir, di mana
tiada lagi harapan untuk membendung Tartar kecuali di pundaknya.
Dari situ,
Quthuz mengambil keputusan berani, yaitu menurunkan Nuruddin Ali dan ia
mengambil alih kekuasaan di Mesir. Keputusan itu bukanlah hal yang aneh. Sebab
sebenarnya Quthuz adalah penguasa real di Mesir. Semua orang –termasuk “sultan
bocah” itu sendiri–mengetahui hal itu. Seolah-olah ada boneka lucu di mana
Quthuz-lah yang menggerakan boneka tersebut. Boneka itu adalah sultan yang
bocah. Apa yang dilakukan Quthuz tiada lain hanya mengangkat boneka itu, untuk
memperlihatkan seorang singa gagah yang di tangannyalah peta geografi dunia
akan berubah, begitu pula lembaran-lembaran sejarah lainnya.
Penggantian ini
terjadi pada tanggal 24 Dzul Qaidah 657 H, yaitu beberapa hari sebelum kedatangan
Hulagu di Aleppo.
Sejak Quthuz –
naik ke kursi kekuasaan, ia terus mempersiapkan diri untuk menyongsong Tartar
yang belum lama menghancurkan ibukota Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Lalu
bagaimana Sultan Al-Muzhaffar (gelar Quthuz setelah menjadi raja) menangani
situasi yang sangat krusial itu? Apa saja langkah-langkah dan persiapan yang
dilakukannya untuk menghadapi serangan Tartar yang dahsyat? Dalam kurun waktu
sekitar setahun (658 H).
Saifuddin
Al-Muzhaffar Quthuz Rahimahullah meninggal dunia hanya lima puluh hari setelah
kemenangan Ain Jalut. Kekuasaannya hanya berusia 11 bulan dan 17 hari. Tidak
genap satu tahun!
Berbagai
peristiwa bersejarah yang agung, persiapan yang bagus, pendidikan yang tinggi,
kemenangan gemilang, hasil yang luar biasa dan dampak yang besar. Ya, semua ini
dicapai kurang dari satu tahun!
Meski ia
memerintah dalam masa yang sangat pendek, namun ia termasuk tokoh terbesar
dunia. Karena, nilai seorang tokoh dan keagungannya tidak diukur dengan umurnya
yang panjang, harta yang banyak, atau kerajaannya yang megah, namun ia diukur
dengan karya-karya bersejarahnya yang mampu merubah peta sejarah dan geografi
dunia. Pada saat yang sama karya-karya itu juga bernilai besar menurut mizan
(timbangan) Allah.
Ia adalah
seorang pembaru (mujaddid) dan teladan (qudwah) yang baik. Sejumlah nilai ideal
melekat pada dirinya; sisi keimanan dan kekhusyukannya, sisi zuhud dan menjaga
kehormatan dirinya, sisi kemampuan dan kemahirannya, sisi kejujuran dan
keikhlasannya, sisi jihad dan pengorbanannya, sisi kesabaran terhadap diri dan
kesabaran terhadap orang lain, sisi kebijakan dan rendah hatinya..
Ia seperti yang
disifati oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar Al-A’lam An-Nubala’, “Ia adalah
seorang prajurit pemberani, politikus, beragama, dicintai rakyat, mengalahkan
Tartar, membersihkan Syam dari Tartar pada perang Ain Jalut, ia juga orang yang
baik jihadnya, insyaallah. Ia adalah seorang pemuda berambut pirang, berjenggot
tebal, bentuknya sempurna, ia memiliki tangan yang putih (sesuai dengan
syariah-Nya) dalam berjihad melawan Tartar, maka Allah gantikan masa mudanya
dengan surga dan Dia meridhainya.”
Ia adalah sosok
yang disifati oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah sebagai:“Seorang
yang pemberani, pahlawan, banyak berbuat kebajikan, punya kesadaran tinggi
terhadap Islam dan menyadarkan rakyat dengannya. Ia dicintai rakyatnya dan
mereka banyak berdoa untuknya.”
Apa arti
seorang Quthuz, jika ia tidak berpegang tegung dengan syariah Allah, tidak
menang dalam perang Ain Jalut berkat keteguhannya dengan syariah, dan tidak
komitmen dengan jalan Allah SWT? Apa arti seorang Quthuz tanpa jalan ini??
Syekh Al-Izz
bin Abdussalam, setelah kehilangan Quthuz dengan begitu cepat, mulai
mengkhawatirkan umat ini. Khawatir, kalau-kalau kemenangan besar itu akan
sia-sia dan umat mengalami kehancuran kembali. Setelah kematian Quthuz, sambil
menangis sedih ia berkata, “Semoga Allah merahmati masa mudanya. Seandainya ia
hidup lama tentu ia akan memperbaharui para pemudanya ke arah Islam.”
Namun, Quthuz
memang telah memperbaharui para pemuda ke arah Islam, meski ia tidak hidup
lama!
Daulah Mamalik
selama kurang lebih tiga abad kemudian terus mendorong semangat muslimin dan
mengangkat panji Islam. Quthuz telah meletakkan pondasi yang kokoh. Di atas
pondasi inilah orang-orang lain akan membangun bangunan yang kuat. Tanpa
pondasi ini bangunan tidak akan mampu berdiri.
Terakhir, Syekh
Al-Izz bin Abdussalam berkomentar, “Tiada orang yang memerintah perkara
muslimin setelah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah yang sebanding dengan Quthuz
Rahimahullah dalam kesalehan dan keadilannya.” Bilakah muncul kembali
Quthuz-Quthuz muda di zaman ini? Wallahu a’lam.
Ain Jalut,
Titik Balik Gelombang Jihad
Dalam waktu
yang tidak berapa lama, demi merasa telah menaklukkan Abbasiyah maka Hulagu
mengirim 4 orang delegasi ke Mamluk Mesir. Delegasi ini datang dengan membawa
surat dari Hulagu Khan kepada Al Muzhaffar Quthuz. Surat itu berbunyi :
“Dari Raja Raja
Timur dan Barat, Khan Agung. Untuk Quthuz Mamluk, yang melarikan diri dari
pedang kami. Anda harus berpikir tentang apa yang terjadi pada negara-negara
lain dan tunduk kepada kami. Anda telah mendengar bagaimana kami telah
menaklukkan kerajaan yang luas dan telah memurnikan bumi dari gangguan yang
tercemar itu. Kami telah menaklukkan daerah luas, membantai semua orang. Anda
tidak dapat melarikan diri dari teror tentara kami. kemana Anda lari? Jalan apa
yang akan Anda gunakan untuk melarikan diri dari kami?
Kuda-kuda kami
cepat, panah kami tajam, pedang kami seperti petir, hati kami sekeras
gunung-gunung, tentara kami banyak seperti pasir. Benteng tidak akan mampu
menahan kami, lengan Anda tidak dapat menghentikan laju kami. Doa-doa Anda
kepada Allah tidak akan berguna untuk melawan kami. Kami tidak digerakkan oleh
air mata atau disentuh oleh ratapan. Hanya orang-orang yang mohon perlindungan
akan aman. Mempercepat balasan Anda sebelum perang api dinyalakan.
Menolak dan
Anda akan menderita bencana yang paling mengerikan. Kami akan menghancurkan
masjid Anda dan mengungkapkan kelemahan Tuhanmu, dan kemudian kami akan
membunuh anak-anak dan orang tua Anda bersama-sama. Saat ini Andalah
satu-satunya musuh yang mesti kami hadapi.”.
Setelah membaca
surat tersebut yang isinya jelas-jelas melecehkan kedaulatan Islam karena hanya
memberikan dua opsi, menyerah atau berperang. Saifuddin Qutuz tidak gentar
sedikitpun, malah beliau dengan berani menempeleng delegasi Mongol itu dan
membunuh mereka dan kepala mereka digantung di Bab Zuweila, salah satu pintu
gerbang Kairo. Dengan segera ia menggerakkan pasukannya dan memancing Mongol
untuk bertempur di Ain jalut.
Quthuz
melakukan itu tidak melanggar kaidah Islam yang melindungi delegasi asing yang
melakukan tugas negosiasi. Karena para ahli sejarah menyatakan bahwa kedatangan
delegasi Mongol tersebut bukan sekadar mengantar surat Hulagu Khan an sich,
tetapi tertangkap tangan melakukan tindakan sebagai mata mata tentera Tartar.
Sebagian dari
pembesar istana merasa takut dan ingin menarik diri dari dukungan, karena
merasa Mesir ketika itu masih belum siap untuk menghadapi tentara Mongol yang
telah menguasai wilayah yang cukup luas (dari Korea hingga Polandia hari ini).
Quthuz mengumpulkan para pembesar-pembesar dan para panglima lalu berkata
kepada mereka, “Wahai pemimpin kaum Muslimin! Kamu diberi gaji dari Baitul Mal,
sementara kamu tidak mau berperang. Siapa yang memilih untuk berjihad, mari
bersamaku. Siapa yang tidak mau berjihad, pulanglah ke rumahnya masing-masing.
Allah akan mengawasi kalian. Sungguh dosa kaum Muslimin yang dilecehkan
kehormatannya akan ditanggung oleh orang yang tidak ikut berjihad.” Kata-kata
Quthuz ini menjadi tamparan dan akhirnya mereka memilih untuk berjihad bersama
Quthuz.
Pembiayaan
perang yang tidak sedikit menjadi masalah ketika itu, dibutuhkan biaya besar
untuk perbaikan benteng, renovasi jembatan, penyediaan peralatan perang dan
logistik. Quthuz mengumpulkan para menteri negara untuk bermusyawarah. Kas
negara betul-betul tidak mencukupi maka pilihan yang ada adalah menarik dana
dari rakyat dan harus dilakukan dengan segera.
Tetapi Qutuz
memerlukan dukungan para ulama untuk mengeluarkan fatwa. Tanpa fatwa Qutuz
tidak akan melakukannya. Umat Islam di Mesir saat itu tidak mengenal pungutan
selain hanya zakat. Diantara yang dipanggil ketika itu adalah seorang ulama
yang bernama Al-Izz bin Abdis Salam Al-Izz bin Abdis Salam telah sepuh berumur
81 tahun dan terkenal karena ketegasannya. Beliau mengeluarkan fatwa yang cukup
tegas:
“Apabila negara
diserang musuh, maka wajib atas dunia Islam untuk memerangi musuh itu. Harus
diambil dari rakyatnya harta mereka untuk membantu peperangan dengan syarat
bila tidak ada asset yang tersimpan di dalam Baitul Mal. Maka setiap kalian
(penyelenggara pemerintahan) hendaklah menjual seluruh asset yang dimiliki dan
tinggalkan untuk diri kalian hanya kuda dan senjata saja. Kalian dan seluruh
rakyat adalah sama di dalam masalah ini. Adapun tentang mengambil harta rakyat
sementara pimpinan tentara masih memiliki harta dan peralatan mewah, maka
penarikan harta rakyat tidak menjadi keharusan.”
Fatwa yang
cukup tegas ini disambut dengan ketegasan Qutuz pula. Beliau menginstruksikan
agar semua pembesar dan pimpinan perang menyerahkan seluruh asset yang mereka
miliki sesuai fatwa tersebut. Hasilnya, Mesir menjadi negara yang kaya.
Penyerahan harta oleh para pembesar dan pimpinan diikuti pula secara serempak
oleh seluruh rakyat. Mereka menyumbangkan harta untuk memenuhi tuntutan
pembiayaan perang. Fatwa Al-Izz bin Abdis Salam sangat ampuh menyelesaikan
masalah keuangan dengan segera.
Kemudian Al-
Qutuz segera memobilisasi tentaranya maka terbentuklah pasukan berjumlah 20.
000 orang tentara. Mereka berunding dan akhirnya memutuskan untuk menyerang
tentara Mongol di luar Mesir. Ini adalah strategi ofensif dalam menghadapi
tentara Mongol.
Para tentara
Allah ini berangkat ke luar wilayah Mesir dan terus bergerak ke arah Palestina.
Dan bertemulah mereka dengan pasukan Tartar yang dikomandani oleh Kitbuqa di
Ainun Jalut. Maka terjadilah pertempuran dahsyat antara kedua belah pihak.
Saat
pertempuran sengit berlangsung, al- Qutuz membuka topeng besinya dan melaju
dengan kudanya ke tengah arena pertempuran sambil memberi motivasi kepada
seluruh tentaranya agar berjuang sampai titik darah penghabisan untuk memburu
syurga Allah. Teriakan takbir bergema di sepanjang pertempuran dan al Qutuz
terus merangsek di tengah- tengah musuh.
Pada
pertempuran Ain Jalut ini, al- Qutuz didampingi isterinya Jullanar yang turut
menyertai dalam rombongan pasukannya. Ketika Jullanar terluka parah, al- Qutuz
memapahnya sambil berkata, ”Wahai Kekasihku.” Jullanar dalam keadaan terluka
parah tetap memberikan semagat kepada suaminya. Dia pun membalas ucapan mesra
suaminya dengan mengatakan, ”Wahai al-Qutuz lebih cintalah kamu kepada jihad
ini.” Lalu isterinya menghembuskan nafas terakhir dan gugur sebagai syahidah.
Dalam kecamuk
perang yang dahsyat, kuda yang ditunggangi al Quthuz terbunuh. Dengan sigap
beliau langsung melompat dan berlari menghadang musuh. Saat itu ada seorang
prajurit yang menyaksikan kuda al Quthuz terbunuh. Dengan tanpa dikomando sang
prajurit menawarkan kuda tunggangannya kepada al Quthuz.
“Saya tidak
ingin menghalangimu untuk memberikan manfaat kepada orang lain.” Al Quthuz
menghargai tawaran prajuritnya sebagai sebuah kesetiaan. Semangat jihadnya yang
tinggi menjadi api yang membakar semangat para tentaranya untuk memburu syahid
yang selalu diidam-idamkannya.
Qutbuddin
Al-Yunaini di dalam Al-Bidayah Wan Nihayah (658H) mengatakan bahwa al Qutuz
sebelum menjadi seorang Sultan pernah bermimpi bertemu Rasulullah saw, dalam
mimpinya Nabi saw mengatakan kepadanya bahwa dirinyalah yang akan menguasai
Mesir dan akan menang dalam perang melawan Mongol.
Setelah itu al-
Qutuz terus maju ke medan pertempuran hingga akhirnya pada hari Jumat, 25
Ramadhan 658H, bertepatan dengan 3 September 1260M tentara- tentara Allah ini
berhasil merebut kemenangan atas tentara Tartar di Ain Jalut. Padahal selama
ini tentera Tartar tidak pernah ada cerita dikalahkan dalam setiap pertempuran.
Dan andaipun kalah di beberapa pertempuran, maka mereka akan mampu menebus
kembali kekalahan mereka. Akhirnya hancurlah pasukan Tartar di ujung mata
pedang kaum muslimin dan tidak pernah mampu lagi menebus kekalahan mereka di
Ain Jalut.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar