Pada liburan lebaran saya pulang kampung, kemudian saya
dan ibuku terlibat pembicaraan dalam masalah ibadah yang tidak
sesuai dengan syariat Islam. Beliau mempermasalahkan ketidak ikut sertaan saya
dalam ritual-ritual agama yang dilaksanakan masyarakat kampung kami, seperti
Maulid Nabi, doa di kuburan, Israj Mikraj dan lain-lain. Saya akan tampilkan dialog
antara saya dan ibu kami dengan sedikit perubahan, mudah-mudahan bermanfaat.
Ibu : Nak, kenapa
kamu tak ikut ke mesjid?
Saya : Malas Bu,
capek.
Ibu : kamu kan
orang yang terkenal beragama, tapi kenapa bermalas-malas dalam beribadah?
Saya : sebenarnya
bukan malas bu, hal yang seperti itu tidak ada kami pelajari saat di kampus.
Ibu : maksudnya ?
Saya : sejauh yang kami pelajari, maulid nabi, israj mikraj dan yang lainnya itu, tidak ada
tuntunannya dari Alquran maupun hadis. Ibu setujukan kalau Alquran dan hadis
adalah landasan kita beragama?
Ibu : Setuju,
kalau tidak ada tuntunannya kenapa mereka melakukan ibadah itu?
Saya : Ooo, itu
karena mereka mengambilnya dari pendahulu mereka, dari orang tua mereka, dulu
kan orang-orang belajar hanya sekedarnya saja, apa yang dikatakan gurunya maka
benarlah itu, ibu dulu percaya adanya siluman, percaya khurafat ini dan itu,
trus sekarang kenapa ibu tak percaya lagi?
Ibu : Yaa, karena
semua itu tidak mungkin, tidak masuk akal
Saya : Itu karena ibu
sudah tahu itu salah, nah... sekarang saya sudah belajar dan mendapati
ibadah-ibadah itu tidak ada tuntunannya makanya tidak dikerjakan. Ibu percaya
orang yang sudah belajar atau yang ikut-ikutan saja?
Ibu : Yang
belajarlah, jelas dari mana dasar dia berpijak.
Saya : (Karena ibu saya sedang masak rendang untuk pesiapan Id, maka saya ambil permisalan dari rendang) Ibaratnya
begini, ibu tahu cara masak rendang kan?
Ibu : Ya
Saya : Jika ada
orang Jawa yang masak rendang, kemudian dia menambahkan kecap pada rendang itu,
dengan anggapan rendangnya akan lebih enak, karena menurut dia makanan itu
takkan sempurna nikmatnya tanpa kecap. Apakah rendang tersebut dinamakan
rendang Padang?
Ibu : Tidaklah,
rendang Padang ya harus dengan resep rendang padang juga dan tidak ada kecapnya
Saya : Kemudian,
ketika ibu menyuruh anak ibu masak rendang dan ibu ingin yang dimasak duluan
adalah santannya seperti yang ibu lakukan sekarang, tapi anak ibu malah
memasak dagingnya dulu baru santannya, kira-kira ibu marah atau tidak?
Ibu : Jelas
marah, kan nanti hasilnya berbeda
Saya : jika ada orang yang tidak tahu-menahu tentang rendang Padang, kemudian dia masak rendang dengan resepnya sendiri dan mengatakan kalau
itu rendang Padang, apakah ibu terima?
Ibu : Tidak, mana
mungkin!
Saya : Seperti
itulah ibadah dalam agama Islam, dalam memasak rendang ibu ahlinya. Dalam agama
Islam Rasulululah shalallahu alaihi wasallam, para sahabat dan ulama lah ahlinya. Jika ada orang yang
melakukan ibadah karena menurut dia bagus dengan menambahi atau menguranginya
seperti rendang yang diberi kecap tadi, apakah ibadahnya diterima? tidak,
seperti rendang pakai kecap tidak disebut rendang Padang. Trus, kalau ada orang
yang beribadah dengan cara selain yang diajarkan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam seperti anak ibu
yang disuruh masak rendang dengan memasak santan terlebih dahulu tapi dia malah
masak daging terlebih dahulu dan ibu marah karena melangar perintah ibu. Bagaimana dengan Rasulullah, apakah beliau tidak marah jika umatnya beribadah
tidak sesuai dengan yang beliau ajarkankan?
Yang parahnya, orang yang sok tahu tadi. Sudah tak
tahu resep rendang Padang, dengan bangganya masak sendiri dangan resep sendiri
dan mengaku itulah rendang Padang. Seperti itulah ibadah-ibadah yang tidak ada
tuntunannya dari Nabi shalallahu alaihi wasallam maupun sahabat dan para ulama. Banyak orang yang
beribadah karena enak di hati, dianggap baik dan sebagainya.
Ibu`: Ya, ibu tidak paham-paham kali tentang hal itu. Ibu Cuma ikut-ikutan
orang tua saja, kamulah yang lebih tahu karena sudah belajar
Saya : Sayapun kan
dulu begitu bu, ikut juga kan? Ikut yang ibu dan bapak ajarkan, tapi setelah saya tahu saya tinggalkan semua itu.
Sekian percakapan saya dengan ibu kami yang sekarang sudah banyak bertanya dalam hukum agama kepada anak-anaknya yang sudah belajar dan sedikit banyaknya sudah mulai beribadah sesuai dalil yang benar.
Ketika orang-orang mengajak saya untuk ikut
acara agama yang tidak ada tuntunannya itu, saya memberikan alasan yang mudah
mereka terima, tanpa harus mengatakan ibadah itu bidah, namun jika mereka minta
dijelaskan saya akan jelaskan. Dan saya lebih sering jujur, saya katakan saja “sejauh
yang saya pelajari, ibadah itu tidak ada dalam Islam, jadi saya tidak bisa ikut” atau "dari apa yang saya pelajarai selama ini, ibadah itu sebenarnya salah dan saya tidak akan melakukan apa yang saya anggap salah"
kalau sudah disampaikan seperti itu mereka tidak akan mengajak saya lagi.
Hal diatas sering kita dengar dengan sebutan
bidah dan kita sudah tahu artinya, namun untuk mengingat kembali mari kita rujuk
KBBI, dalam KBBI ada tiga makna bidah yaitu perbuatan yangg dikerjakan tidak
menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi
ketetapan. Kedua, pembaruan ajaran Islam tanpa berpedoman pada Alquran dan
hadis, ketiga, kebohongan atau dusta.
Orang awam tentu akan susah memahaminya, tapi kalau
diberi permisalan yang ada dalam kehidupannya insyaallah mereka paham.
Khusus ke orang tua kita tentu kita harus lebih berhati-hati dalam berdakwah, lihat situasi dan kondisi. Orang tua kami alhamdulillah mau mendengarkan anak-anak mereka, karena mereka percaya anak mereka lebih tahu sebab sudah belajar sedangkan mereka tidak. Kami juga sering bercerita dan bercanda sehingga apa yang sayasampaikan pada percakapan di atas bukanlah suatu hal yang dipermasalahkan terhadap sopan-santun kami kepada keduaorang tua kami. Namun bagi yang tidak terbiasa dengan orang tuanya, tidak rapat hubungannya, hendaklah mencari cara yabg lebih halus lagi.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
31 Maret 2017
Abu Ady
Komentar
Posting Komentar