Dalam sebuah
kebersamaan akan diiringi oleh kesendirian, saat pertemuan dimulai sudah
tersyaratkan oleh perpisahan. Kebersamaan yang dibangun atas pertalian darah
antara orang tua dan anak, persaudaraan, pertemanan dan antara dua orang
kekasih akan diakhiri dengan terputusnya kebersamaan mereka. Pada tulisan ini
saya akan menulis perpisahan yang terkhusus kepada dua orang kekasih dan lebih
khususnya yaitu antara kekasih yang dihalalkan oleh Allah melalui ikatan syariat
yang di iqrar dan diperjanjikan didepan saksi.
Banyak penyebab
dari perpisahan itu, diantaranya karna kematian sang kekasih, karna
penghianatan, karna bosan atau tidak lagi menginginkan kebersamaan.
Namun cinta tetaplah cinta dan sayang tidak akan hilang bagi manusia yang setia
pada kekasihnya. kesetiaan adalah sifat yang harus dimiliki setiap orang besar.
Untuk ditinggal
mati oleh kekasih,dapat kita lihat dalam kisah Ummu Habibah, dalam riwayat Imam
Muslim dikisahkan bahwa Abu Salamah mengajarkan pada Ummu Slamah sebuah doa
dikkala ditimpa musibah “Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun. Allahumma
jurnii fii mushibatii wakhluflii khairan minhaa. (Sesungguhnya kami milik
Allah, kepada-Nya kami kembali. Ya Allah, berikanlah pahala kepadaku lantaran
musibah yang menimpaku ini dan berikanlah ganti kepadaku dengan yang lebih baik
dari musibah ini). Kecuali Allah akan memberinya pahala lantaran musibahnya dan akan
mengganti musibahnya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (Hr. Muslim)
Dijelaskan
dalam riwayat lain tatkla Abu Salamah meningal, Ummu Slamah membaca doa ini namun
lisannya tetasa berat untuk mengucapkan “dan berikanlah ganti yang lebih baik
dari ini”, ia berkata “siapa yang lebih baik dari Abu Salamah?” .
Begitu besar
cintanya pada Sang Suami sehingga dalam dirinya telah tertanam bahwa Abu
Salamah adalah sebaik-baik laki-laki, hal itu karna ia sangat mencintai Abu
Salamah bahkan diriwayatkan Ummu salamah pernah meminta agar Ia dan Abu Salamah
berjanji untuk tidak menikah jika salah seorang diantara mereka meinggal lebih
dulu agar mereka bisa dikumpulkan bersama disurga dalam status suami istri.
Setelah masa Iddahnya berlalu, datanglah Abu bakar untuk memnangnya dan iapun
menolak, kemudian datang Umar dan ia masih menolak, yang terakhir Rasulullah
lah yang meminangnya namun ia tetap menolak, dia memberiakna alasan ini dan itu
untuk menolak Rasullullah, setelah Rasullullah bisa meyakinkannya iapun
menerima pinangnan itu dan mendapatkan ganti yang lebih baik dari Abu Salamah.
Kisah lain yang
saya saksikan sendiri, suami istri yang selalu bersama, dimana ada suami disitu
ada istri, ang istri terlihat manja dan mencintai suaminya, Takdir menyatakan
bahwa suami lebih dulu pergi meninggalkan istri, betapa sedihnya si istri,
tiada lagi tempat berkeluh kesah, tiada lagi tempat bemanja dan senda gurau. Ia
terlihat linglung dan badannya lemas tak semangat enjalani hidup tanpa suami
tercinta.
Karna penghianatan,
hal ini dapat kita lihat dalam hadist tentang lian, seorang istri
yang berzina kemudian mereka dipisahkan. Saya juga
menemukan seorang yang istrinya berzina dengan laki-laki lain namun ia tidak
lagi memperdulikannya. Bagaimana pula tentang istri yang selingkuh atau suami
yang berkhianat tapi “jeruk makan jeruk?” tentulah hal ini sangat menakitkan
dan menyayat hati. Namun maaf adalah keharusan dari yang terzhalmi dan tobat
wajib bagi yang berkhianat.
Perpisahan
karna tak diinginkan lagi, ini merupakah perpisahan yang paling berat dan
melelahkan hati. Dalam hal ini
dapat kita paparkan kisah Mugist dan Barirah, kisah Abu Zar dan Ummu Dzar serta
kisah Qais bin Tsabit
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwasanya suami Barirah adalah
seorang hamba yang bernama Mughits, seolah-olah saya melihatnya berkeliling
dibelakangnya sambil menangis dan air matanya mengalir hingga membasahi
jenggotnya. Lalu Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda kepada Abbas: “Wahai Abbas tidakkah kamu takjub terhadap kecintaan Mughits kepada
Barirah dan dan kebencian Barirah kepada Mughits?” Lalu Nabi bersabda:
“Seandainya kamu kembali (rujuk) kepadanya”. Ia (Barirah) berkata:”Wahai
Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku untuk rujuk?” Beliau bersabda: “Aku
hanya memberi syafa’at (pertolongan). Ia menjawab: ” Saya tidak lagi
membutuhkan dirinya (Mughits)” (HR. Bukhari no.5026, Fathul Bari juz 10 hadits
no.5283)
Kisah Abu Dzar
Dari Aisyah, Beliau meriwayatkan 11 wanita yang bercerita tentang suami mereka, Wanita yang kesebelas berkata, “Suamiku adalah Abu Zar’. Siapa gerangan Abu Zar’??, dialah yang telah memberatkan telingaku dengan perhiasan dan telah memenuhi lemak di lengan atas tanganku dan menyenangkan aku maka akupun gembira. Ia mendapatiku pada peternak kambing-kambing kecil dengan kehidupan yang sulit, lalu iapun menjadikan aku di tempat para pemiliki kuda dan onta, penghalus makanan dan suara-suara hewan ternak. Di sisinya aku berbicara dan aku tidak dijelek-jelekan, aku tidur di pagi hari, aku minum hingga aku puas dan tidak pingin minum lagi
Keluarlah Abu Zar’ pada saat tempat-tempat dituangkannya susu sedang digoyang-goyang agar keluar sari susunya, maka iapun bertemu dengan seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor macan. Mereka berdua sedang bermain di dekatnya dengan dua buah delima Maka iapun lalu menceraikanku dan menikahi wanita tersebut
Setelah itu akupun menikahi seoerang pria yang terkemuka yang menunggang kuda
pilihan balap. Ia mengambil tombak khotthi lalu membawa tombak tersebut untuk berperang dan membawa
gonimah berupa onta yang banyak sekali. Ia memberiku sepasang hewan dari
hewan-hewan yang disembelih dan berkata, “Makanlah wahai Ummu Zar’ dan
berkunjunglah ke keluargamu dengan membawa makanan”.
Kalau seandainya aku mengumpulkan semua yang diberikan olehnya maka tidak akan mencapai belanga terkecil Abu Zar’
Kalau seandainya aku mengumpulkan semua yang diberikan olehnya maka tidak akan mencapai belanga terkecil Abu Zar’
Kisah Tsabit
Istri Tsabit bin
Qais bin Syammas radhiyallahu ‘anhuma mengadu kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, saya tidak
mencela akhlak maupun agama Tsabit bin Qais, karena agamanya baik dan akhlaknya
juga baik. Tetapi, saya tidak ingin berbuat kufur.” Yang dia maksud
dengan “kufur” adalah tidak menunaikan kewajiban sebagai istri.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanggapi,
“Bersediakah engkau
mengembalikan kebun darinya?”
Kebun itu adalah mahar pernikahan dari Tsabit untuknya.
Istri Tsabit menjawab, “Ya, (saya bersedia).”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan
kepada Tsabit,
“Ambillah kebun yang
dikembalikannya, dan ceraikan dia!”
Tsabit pun menerima kebun itu dan menceraikan istrinya. (HR.
Bukhari)
Perceraian adalah salah satu misi terbesar iblis. Dalam hadits
shahih yang diriwayatkan Imam Muslim, dikisahkan bahwa berbagai macam upaya
pasukannya menggoda manusia ditanggapi dingin oleh Iblis. Namun, ketika ada
pasukannya yang melaporkan bahwa ia telah berhasil membuat suami istri
bercerai, Iblis pun mendekati pasukannya itu dan memujinya.
“Sesungguhnya
iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian dia mengirimkan pasukannya.
Maka yang paling kepadanya ialah yang paling besar fitnahnya. Lalu datanglah
salah seorang pasukannya melapor, “aku telah melakukan ini dan itu.” Iblis
menjawab, “kamu belum berbuat apa-apa.” Lalu datanglah pasukan lain melapor,
“aku tidak membiarkannya hingga aku menceraikan dia dan istrinya”. Iblis pun
mendekat kepada pasukan itu dan memujinya, “bagus”. (HR. Muslim)
Hendaklah hadits ini menjadi bahan renungan kita semua untuk
menguatkan keluarga kita. Bahwa Iblis dan pasukannya memang tidak tinggal diam
saat keluarga kita harmonis, saat keluarga kita bahagia, saat keluarga kita
menggapai sakinah, mawaddah wa rahmah. Dengan segala cara, Iblis dan pasukannya
berupaya agar keluarga kita yang harmonis menjadi kacau. Dengan berbagai
metode, Iblis dan pasukannya berupaya agar keluarga kita yang tentram dan
bahagia menjadi berselisih dan saling menderita. Dengan beragam tipudaya, Iblis
dan pasukannya berupaya agar keluarga kita pecah dan porak poranda.
Komentar
Posting Komentar