Langsung ke konten utama

Kisah Cinta bertepuk Sebelah tangan dizaman Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam


          “Itu adalah Mughits, budak milik bani fulan, dia adalah suami dari Barirah. Mughits terus membuntuti Barirah di jalan-jalan kota Madinah, sambil mengharap belas kasihan dari Barirah.”  Ucap Ibn Abbas (HR. Bukhari no. 5281).

Dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, sesungguhnya suami Barirah adalah seorang budak yang bernama Mughits. Aku ingat bagaimana Mughits mengikuti Barirah ke mana ia pergi sambil menangis (karena mengharapkan cinta Barirah, -pent). Air matanya mengalir membasahi jenggotnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada pamannya, Abbas, “Wahai Abbas, tidakkah engkau heran betapa besar rasa cinta Mughits kepada Barirah namun betapa besar pula kebencian Barirah kepada Mughits.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Barirah, “Andai engkau mau kembali kepada Mughits?!”

Barirah mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, “Aku hanya ingin menjadi perantara (syafi’).” Barirah mengatakan, “Aku sudah tidak lagi membutuhkannya” (HR. Bukhari no. 5283)

is.jpg


Dari ‘Aisyah, ia menceritakan, Aku pernah membeli seorang budak bernama Barirah. Lantas pemilik sebelumnya menyaratkan hak wala’ padanya (artinya: artinya warisan jadi milik pemiliknya yang dulu, bukan pada orang yang memerdekakannya). Aku pun menceritakan hal itu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau berkata, “Bebaskanlah Barirah. Hak wala’ tetap jadi milik orang yang memerdekakan.”
Aku pun memerdekakan Barirah. Setelah merdeka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Barirah lalu memberikan hak pilih kepada Barirah antara tetap menjadi istri Mughits atau berpisah dari suaminya yang masih berstatus budak.
Barirah mengatakan, “Walau Mughits memberiku sekian banyak harta aku tidak mau menjadi isterinya”. Barirah memilih untuk tidak lagi bersama suaminya.” (HR. Bukhari no. 2536).
Adapun kisah tentang pembebasan Barirah oleh ‘Aisyah disebutkan dalam hadits berikut.


Adapun Pelajaran yang dapat kita petik dari kisah ini diantaranya:

1.      Kisah di atas menunjukkan bahwa cinta itu terkadang bertepuk sebelah tangan. Dalam kisah di atas nampak sekali besarnya rasa cinta Mughits kepada Barirah namun Barirah demikian benci kepada Mughits.

2.      Cinta itu tidak harus memiliki. Terkadang rasa cinta tidak harus berujung dengan pernikahan yang langgeng. Lihatlah kandasnya cinta Mughits dan sebuah kenyataan pahit harus ditelan oleh Mughits yaitu tidak bisa lagi memiliki Barirah.

3.      Kisah di atas juga menunjukkan bahwa cinta yang over dosis itu bisa menghilangkan rasa malu sehingga menyebabkan pelakunya melakukan berbagai hal yang sebenarnya memalukan.

4.      Rasa benci tidak mesti dari dua pihak, boleh saja yang satu benci dan yang satu malah menginginkan cintanya. Namun umumnya hati itu akan saling benci dan saling cinta.


5.      Budak itu tidak sekufu (Sepadan) alias setara dalam pernikahan dengan orang merdeka. Oleh karena itu saat merdeka, Barirah memiliki hak untuk memilih (khiyar) antara tetap bersama Mughits yang masih jadi budak ataukah berpisah untuk mencari suami yang lain.

6.      Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu memelihara jenggotnya. Di antara mereka adalah Mughits sehingga dikatakan bahwa air mata Mughits itu membasahi jenggotnya. Sehingga orang yang demikian benci dengan jenggotnya sampai-sampai dikerok secara berkala adalah orang yang tidak mau meneladani para sahabat Nabi dalam masalah ini bahkan tergolong tidak mau taat kepada Nabi yang memerintahkan umatnya untuk memilhara jenggot. Seorang laki-laki itu akan semakin gagah dan berwibawa mana kala memelihara jenggot.

7.      Saran atau nasihat Nabi itu berbeda dengan perintahnya. Saran Nabi untuk person tertentu itu hasil finalnya kembali kepada pilihan person tersebut. Sedangkan perintah Nabi itu adalah sesuatu yang harus ditaati tanpa ada pilihan yang lain.


Referensi:
Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalani, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H.
Fathu Dzil Jalali wal Ikram Syarh Bulughil Maram, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1435 H.
KisahMuslim.com
Oleh : 
Muhammad Abduh Tausikal
Dari :

https://rumaysho.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajib Diketahui Oleh Pecinta Sepak Bola...

Ada apa dengan kostum sepak bola? Sepak bola merupakan olah raga yang paling banyak penggemarnya, setiap penggemar memiliki klub dan pemain faforit. Terkadang semua aksesoris yang bertuliskan nama dan gambar klub atau pemain idolapun menjadi koleksi wajib bagi para pecinta sepak bola. Nah, bagaimana bila kita sebagai seorang muslim menjadi penggemar klub  atau pemain yang kafir kemudian membeli pernak-pernik yang berkaitan dengan mereka terutama kostum yang mengandung unsur atau lambang agama dan keyakinan mereka seperti lambang salib dan setan merah? Jika kita perhatikan terdapat beberapa kostum tim sepak bola yang mengandung unsur salib seperti Barcelona, AC Milan, Timnas Brazil, Timnas Portugal, Intermilan, sedangkan lambang setan terdapat pada  MU.  Meskipun begitu masih banyak kaum muslimin yang tidak memperdulikan hal ini khususnya Indonesia. Berbeda dengan dua Negara bagian Malaysia beberapa tahun yang lalu telah melarang hal ini. Dewan Keagamaan Johor d

Mengisi Ramadan dengan nasyid

  Dalam KBBI nasyid diartikan sebagai lagu yang mengandung unsur keislaman, sedangkan dalam kamus “ Lisanul Arab ” nasyid artinya menyanyikan syair. Dari dua pengertian ini dapat kita pahami bahwa nasyid adalah lagu atau nyanyian. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Hakim hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya bahwa nasyid yang sekarang itu adalah nyanyian, bukan seperti yang dibaca oleh para sahabat saat menggali parit atau saat perang, yang mereka baca adalah syair.     Kita sama-sama tahu bahwa membaca syair oleh orang arab memiliki cara tersendiri, jika dicari persamaannya di Indonesia maka membaca syair serupa dengan membaca pantun atau puisi. Apakah membaca puisi atau pantun sama dengan cara menyanyikan nasyid atau kasidah itu? Jawabnya jelas tidak sama. Lalu apa hukum menyanyikan nasyid? Syaikh Shaleh Al Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video tanya jawab menyebutkan “kami tidak menemukan pensyariatannya, jika nasyid tersebut tidak disandarkan

Kita pasti berpisah, semoga esok kembali berkumpul

Dalam menjalani kehidupan ini terkadang kita harus pergi, pergi jauh dari kampung halaman. Banyak tujuan yang kita bawa, ada yang menuntut ilmu, ada yang mencari nafkah dan tujuan lainnya. Walau apapun tujuannya, ke manapun perginya, pasti ia merindui kampung halamannya, pasti ia merindukan orang-orang yang disayangi, ingin kembali berkumpul dengan keluarga, sebab di sana ada kebahagiaan. Keindahan dan kedamaian itu ada di kampung halaman, ketika hati gelisah maka pulanglah, ada orang tua di sana, ada sanak saudara, ada sawah yang berjenjang dilengkapi burung-burung yang berbondong, ada sungai  beserta suara gemerciknya dan bebukitan dengan pohong-pohon yang menghijau. Indah dan damai.   Kita pasti kembali   Ibnu Umar  rhadiyallahu anhuma   berkata bahwa Rasulullah  shalallahu alaihi wasallam   bersabda :   كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاء