Langsung ke konten utama

Berbaik sangka ketika ditimpa musibah

 


Seluruh cobaan dan ujian yang kita rasai adalah tanda kebaikan dari Allah taala, yakinkan diri untuk itu agar tidak berlarut dalam kesedihan dunia yang sementara ini. Susah senang adalah pakaian kehidupan, maka sikap yang layak dimiliki seorang mukmin adalah berserah diri keapada Allah taala yang telah mentadbir dirinya, apapun yang ia dapatkan dari suka duka dunia ia tetap menyikapinya dengan husnuzhan kepada Rabbnya.

 

Kalaulah musibah datang menyapa hendaknya kita sambut ia dengan lambaian sabar, masalah yang tak kunjung selesai, sakit berkepanjangan atau kemiskinan yang melekat pada diri, sabarlah karna “orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa” (Al-Baqarah : 177)

 

Semua yang menimpa dan terjadi pada seorang yang beriman adalah baik, saat suka ia bersyukur dan saat duka ia bersabar. “Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin, semua keadaannya mengandung kebaikan dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya” (Hr. Muslim)

 

 

Cobaan yang kita rasakan itu, tidaklah dibiarkan begitu saja, akan ada balasannya yaitu pengampunan dosa, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Tidaklah seorang mukmin ditimpa sakit, letih, demam, sedih hingga kekhawatiran yang mengusiknya, melainkan Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya” (Hr. Bukhari dan Muslim)

 

Bahkan sepatutnya kita bersangka baik kepada Allah taala dengan menanamkan dalam hati bahwa Allah taala menginginkan kebaikan untuk kita dan mencintai kita, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Siapa yang ridha dengan ujian itu, maka ia akan mendapat keridhaan-Nya. Siapa yang membencinya maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya (Hr. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

 

Dan itu semua terjadi agar derajat kita ditinggikan dan dosa diampuni, “Tidaklah seorang mukmin terkena duri dan lebih dari itu melainkan Allah akan mengangkat derajat dengannya atau dihapuskan kesalahannya dengannya” (Hr. Bukhari dan Muslim)

 

Ataupun seandainya musibah yang menimpa kita karna dosa dan maksiat yang kita lakukan maka ingatlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Jika Allah menginginkan kebaikan untuk seorang hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak” (Hr. Tirmidzi).

 

 

Jadi apapun yang menimpa kita hendaknya kita menganggapnya sebagai cobaan yang membuahkan kebaikan, jika itu sebuah ujian maka untuk mengangkat derajat dan pengampunan dosa, dan bila itu hukuman maka itu untuk meringankan beban azab di akhirat dan pengampunan dosa.

 

(Abu Ady)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajib Diketahui Oleh Pecinta Sepak Bola...

Ada apa dengan kostum sepak bola? Sepak bola merupakan olah raga yang paling banyak penggemarnya, setiap penggemar memiliki klub dan pemain faforit. Terkadang semua aksesoris yang bertuliskan nama dan gambar klub atau pemain idolapun menjadi koleksi wajib bagi para pecinta sepak bola. Nah, bagaimana bila kita sebagai seorang muslim menjadi penggemar klub  atau pemain yang kafir kemudian membeli pernak-pernik yang berkaitan dengan mereka terutama kostum yang mengandung unsur atau lambang agama dan keyakinan mereka seperti lambang salib dan setan merah? Jika kita perhatikan terdapat beberapa kostum tim sepak bola yang mengandung unsur salib seperti Barcelona, AC Milan, Timnas Brazil, Timnas Portugal, Intermilan, sedangkan lambang setan terdapat pada  MU.  Meskipun begitu masih banyak kaum muslimin yang tidak memperdulikan hal ini khususnya Indonesia. Berbeda dengan dua Negara bagian Malaysia beberapa tahun yang lalu telah melarang hal ini. Dewan Keagamaan Johor d

Mengisi Ramadan dengan nasyid

  Dalam KBBI nasyid diartikan sebagai lagu yang mengandung unsur keislaman, sedangkan dalam kamus “ Lisanul Arab ” nasyid artinya menyanyikan syair. Dari dua pengertian ini dapat kita pahami bahwa nasyid adalah lagu atau nyanyian. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Hakim hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya bahwa nasyid yang sekarang itu adalah nyanyian, bukan seperti yang dibaca oleh para sahabat saat menggali parit atau saat perang, yang mereka baca adalah syair.     Kita sama-sama tahu bahwa membaca syair oleh orang arab memiliki cara tersendiri, jika dicari persamaannya di Indonesia maka membaca syair serupa dengan membaca pantun atau puisi. Apakah membaca puisi atau pantun sama dengan cara menyanyikan nasyid atau kasidah itu? Jawabnya jelas tidak sama. Lalu apa hukum menyanyikan nasyid? Syaikh Shaleh Al Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video tanya jawab menyebutkan “kami tidak menemukan pensyariatannya, jika nasyid tersebut tidak disandarkan

Kita pasti berpisah, semoga esok kembali berkumpul

Dalam menjalani kehidupan ini terkadang kita harus pergi, pergi jauh dari kampung halaman. Banyak tujuan yang kita bawa, ada yang menuntut ilmu, ada yang mencari nafkah dan tujuan lainnya. Walau apapun tujuannya, ke manapun perginya, pasti ia merindui kampung halamannya, pasti ia merindukan orang-orang yang disayangi, ingin kembali berkumpul dengan keluarga, sebab di sana ada kebahagiaan. Keindahan dan kedamaian itu ada di kampung halaman, ketika hati gelisah maka pulanglah, ada orang tua di sana, ada sanak saudara, ada sawah yang berjenjang dilengkapi burung-burung yang berbondong, ada sungai  beserta suara gemerciknya dan bebukitan dengan pohong-pohon yang menghijau. Indah dan damai.   Kita pasti kembali   Ibnu Umar  rhadiyallahu anhuma   berkata bahwa Rasulullah  shalallahu alaihi wasallam   bersabda :   كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاء