Langsung ke konten utama

Stop Wahhabism !!!!!


Perkataan ‘wahhabi’ dalam penulisan Barat mempunyai berbagai uraian. semuanya menjurus kepada aliran Islam yang dilihat  berpegang kepada nas-nas al-Quran dan al-Sunnah secara literal dan enggan melihat tafsiran yang lebih moden atau tafsiran yang agak ‘western influence’. Clinton Bennet memasukkan ‘wahhabis’ dan deobandis dibawah kelompok ‘traditionalists’ yang berarti sekaligus berada di bawah aliran ‘fundamentalist’ (lihat: Muslim and Modernity 18-20, London: Continuum).



Sebahagian penulisan Barat melihat wahhabi sebagai aliran yang menganggap ‘hanya Islam agama yang benar’, wajib menegakkan ‘Islamic State’, adanya ‘jihad’ menentang kuffar dan lain-lain ciri-ciri yang dianggap unsur ‘padang pasir’ sekaligus dikaitkan dengan terrorism.
Di Nusantara, perkataan ‘wahhabi’ adalah perkataan misteri. bagaimana tidak, banyak yang menyebutnya atau menfitnah orang lain dengan menggunakan perkataan itu, padahal mereka pun tidak faham.

Di sesetengah tempat seseorang dituduh wahhabi kerana menentang amalan-amalan khurafat. Umpamanya, menggantung gambar orang tertentu seperti sultan atau tuan guru dengan kepercayaan boleh menambah untung atau rezeki, atau mengikat benang hitam di tangan bayi yang baru lahir atas kepercayaan menolak sial atau bala dan berbagai kekarutan yang menghantui sebahagian masyarakat. Malangnya amalan-amalan ini bukan sahaja mendapat restu sesetengah yang bergelar ‘ustadz atau kiyai’, bahkan merekalah ketuanya. Jika ada yang mengkritik, untuk mempertahankan diri maka ‘sang ustaz’ itu dengan mudahnya akan menyebut: ‘dia wahhabi’.

Sama juga, mereka yang tidak bersetuju dengan kenduri arwah dituduh wahhabi. Padahal kitab melayu lama Bughyah al-Talab karangan Syeikh Daud al-Fatani sendiri menyebut: “(dan makruh) lagi bid’ah bagi orang yang kematian membuat makanan dan mengajak manusia untuk memakannya  seperti yang diadatkan kebanyakan manusia (dan demikian lagi) makruh lagi bid’ah”. Jika pun mereka tidak dapat menerima bahan mereka sendiri, mengapa mereka merasa diri infallible, dan mengharamkan orang lain berbeda dengan mereka dengan menggunakan senjata ‘dia wahhabi’.

Sesetengah kelompok agama pula, mereka membaca dan menyebarkan riwayat-riwayat yang tertolak; seperti Israliyyat yang bercanggah dengan nas-nas Islam, hadis-hadis palsu atau kisah-kisah wali atau sufi yang menjadikan manusia keliru tentang keanggunan Islam. Mereka menyebarkannya dalam ceramah dan sesetengahnya menjadikannya modal untuk ‘bisnes’ mereka. Islam menjadi kabur dengan cerita-cerita itu dan menyebabkan agama agung ini kelihatan bagaikan ‘kartun’ dan ‘lucu’. Jika ada yang menegur para penceramah ini; jawapannya ‘dia wahhabi’. Walaupun yang menegur itu tidak pernah pun membaca buku Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.

Lebih buruk lagi apabila isu wahhabi digunakan oleh pihak berkuasa agama. Jika banyak pegawai agama itu atau yang sealiran dengan mereka bertarekat, atau pembaca hadis-hadis palsu dan lucu, bila ada guru yang mengajar al-Quran dan hadis sahih serta tidak bersetuju dengan kekeliruan itu akan disenaraikan sebagai wahhabi dan diharamkan mengajar di masjid dan surau. Nama Gubernur atau pihak berkuasa akan digunakan.

Dalam masa yang sama mereka membiarkan kemungkaran yang jelas di sana sini, lalu sibukkan diri dengan kelompok revivalist yang tidak mengancam masyarakat sama sekali. Jika ada pun, ancaman itu kepada pemikiran kejumudan dan kekolotan, bukan kepada masyarakat. Untuk menjustifikasikan kesibukan mereka dengan kelompok ini sehingga meninggalkan kemungkaran hakiki, mereka kata: “ini lebih bahaya kerena wahhabi”. Apa itu wahhabi? Jawab mereka wahhabi itu wahhabi!
Di peringkat yang lebih tinggi, istilah wahhabi diberikan kepada mereka yang tidak terikat dengan mazhab al-Syafi’i. Kononnya, mereka yang tidak ikut mazhab itu wahhabi.

Persis seperti yang disebut oleh Dr al-Qaradawi:
“Golongan yang taa'sub ini tidak membolehkan sesiapa yang mengikut sesuatu mazhab keluar daripadanya, sekalipun dalam beberapa masalah yang jelas kepada pengikut mazhab bahwa dalil mazhabnya lemah. Sehingga mereka menyifatkan sesiapa yang keluar mazhab sebagai tidak berpendirian. Perbuatan ini sebenarnya mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh Allah taalA” (Dr. Yusuf al-Qaradawi, Al-Sahwah al-Islamiyyah bain al-Ikhtilaf al-Masyru’ wa al-Tafarruq al-Mazmum , m.s 202, Kaherah: Dar al-Sahwah).

Apa yang menariknya di Nusantara, sesetengah ‘mereka ini’ apabila menjadi ‘penasihat-penasihat’bank, bagi memenuhi keperluan bank-bank yang beroperasi atas nama Islam itu, mereka bersetuju pula dengan pandangan-pandangan hukum yang diambil tanpa mengikut mazhab syafii. Bahkan pandangan Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah  begitu banyak diambil dalam masalah muamalat ini. Ini karena, di seluruh dunia pandangan-pandangan beliau memang dikutip dalam memajukan masyarakat Islam. Padahal ‘sesetengah mereka ini’ di luar mesyuarat bank yang ber‘elaun’ itu, mereka menuduh Ibn Taimiyyah wahhabi, dan sesiapa yang setuju dengan Ibn Taimiyyah sebagai ‘wahhabi’. Bahkan di luar bank mereka bersekongkol dengan golongan yang mengkafirkan atau menyesatkan Ibn Taimiyyah.

Demikian ketika saya menjadi mufti dahulu, apabila saya memberikan padangan larangan mengintip (tajassus), boleh menjawab salam bukan muslim, wajib membinkan kepada bapa asal sekalipun bapanya bukan muslim, masjid untuk kaum cina, keluasan menerima pandangan dan lain-lain lagi, maka pandangan-pandangan ini dituduh oleh sesetengah pihak agama sebagai wahhabi. Padahal pandangan tersebut jika dibincangkan di Barat dianggap dalam aliran modernism atau rationalism dan penentangnya mungkin akan dimasukkan kepada kelompok wahhabism.

Di Malaysia, sebaliknya, yang terbuka itu wahhabi dan sesat, yang tertutup itulah yang ‘membolot segala kebenaran’. Cara fikir beginilah yang menguasai sektor-sektor agama pemerintah dan mencepatkan ‘pereputan’ kekuatan kerajaan yang ada. Cara fikir begini jugalah yang menguasai sesetengah aliran agama dalam pembangkang. Sebab itu barangkali, puluhan tahun kemerdekaan, bukan muslim bukan saja tidak bertambah faham, sebaliknya bertambah keliru dan tegang mengenai Islam.

Tindakan mereka ini mengingatkan saya kepada artikel David Brubaker bertajuk Fundamentalisn vs Modernism: A Consideration of Causal Conditions bahwa penentangan terhadap pembaharuan lebih merujuk kepada masalah survival kelompok. Dalam usaha untuk hidup dan terus mendapat tempat dalam masyarakat dan pemerintah maka golongan pembaharuan akan ditentang. Bagi saya, bukan isu wahhabi sebenarnya, tetapi bimbang terpinggirnya tempat dan kedudukan. Namun, apabila mereka merasa ada ruangan untuk mendapat ‘kedudukan’ seperti isu perbankan tadi, mereka dapat pula menerima pandangan yang berbeda tanpa menuduh bank yang memberi elaun bulanan dan elaun mensyuarat itu sebagai ‘bank mazhab wahhabi’.

David Brubaker menyebut untuk survival mereka terpaksa memilih antara dua ‘occomodation or resistance’. Maka, di Nusantara banyak yang dituduh wahhabi, namun ia adalah tuduhan misteri. Saya juga tidak menafikan ada yang dianggap wahhabi itu sendiri perlu bertolak ansur dalam sebahagian pendapat. Namun, untuk menuduh orang lain wahhabi hanya kerana perbedaan pendapat, itu adalah sikap jakun yang cuba hidup di zaman globalisasi.

Sumber :
dengan perubahan seperlunya


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajib Diketahui Oleh Pecinta Sepak Bola...

Ada apa dengan kostum sepak bola? Sepak bola merupakan olah raga yang paling banyak penggemarnya, setiap penggemar memiliki klub dan pemain faforit. Terkadang semua aksesoris yang bertuliskan nama dan gambar klub atau pemain idolapun menjadi koleksi wajib bagi para pecinta sepak bola. Nah, bagaimana bila kita sebagai seorang muslim menjadi penggemar klub  atau pemain yang kafir kemudian membeli pernak-pernik yang berkaitan dengan mereka terutama kostum yang mengandung unsur atau lambang agama dan keyakinan mereka seperti lambang salib dan setan merah? Jika kita perhatikan terdapat beberapa kostum tim sepak bola yang mengandung unsur salib seperti Barcelona, AC Milan, Timnas Brazil, Timnas Portugal, Intermilan, sedangkan lambang setan terdapat pada  MU.  Meskipun begitu masih banyak kaum muslimin yang tidak memperdulikan hal ini khususnya Indonesia. Berbeda dengan dua Negara bagian Malaysia beberapa tahun yang lalu telah melarang hal ini. Dewan Keagamaan Johor d

Mengisi Ramadan dengan nasyid

  Dalam KBBI nasyid diartikan sebagai lagu yang mengandung unsur keislaman, sedangkan dalam kamus “ Lisanul Arab ” nasyid artinya menyanyikan syair. Dari dua pengertian ini dapat kita pahami bahwa nasyid adalah lagu atau nyanyian. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Hakim hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya bahwa nasyid yang sekarang itu adalah nyanyian, bukan seperti yang dibaca oleh para sahabat saat menggali parit atau saat perang, yang mereka baca adalah syair.     Kita sama-sama tahu bahwa membaca syair oleh orang arab memiliki cara tersendiri, jika dicari persamaannya di Indonesia maka membaca syair serupa dengan membaca pantun atau puisi. Apakah membaca puisi atau pantun sama dengan cara menyanyikan nasyid atau kasidah itu? Jawabnya jelas tidak sama. Lalu apa hukum menyanyikan nasyid? Syaikh Shaleh Al Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video tanya jawab menyebutkan “kami tidak menemukan pensyariatannya, jika nasyid tersebut tidak disandarkan

Kita pasti berpisah, semoga esok kembali berkumpul

Dalam menjalani kehidupan ini terkadang kita harus pergi, pergi jauh dari kampung halaman. Banyak tujuan yang kita bawa, ada yang menuntut ilmu, ada yang mencari nafkah dan tujuan lainnya. Walau apapun tujuannya, ke manapun perginya, pasti ia merindui kampung halamannya, pasti ia merindukan orang-orang yang disayangi, ingin kembali berkumpul dengan keluarga, sebab di sana ada kebahagiaan. Keindahan dan kedamaian itu ada di kampung halaman, ketika hati gelisah maka pulanglah, ada orang tua di sana, ada sanak saudara, ada sawah yang berjenjang dilengkapi burung-burung yang berbondong, ada sungai  beserta suara gemerciknya dan bebukitan dengan pohong-pohon yang menghijau. Indah dan damai.   Kita pasti kembali   Ibnu Umar  rhadiyallahu anhuma   berkata bahwa Rasulullah  shalallahu alaihi wasallam   bersabda :   كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاء