Sejak siang hari kampung kami yang diapit oleh dua
bukit diguyur hujan, kampung yang jauh dari keramaian, tidak kenal hiruk pikuk
kota yang menyesakkan nafas. Sampai senja menjelang tiada juga tanda hujan akan
berhenti, sungai yang berada dibelakang rumah "Tek Jaih"
memperlihatkan taringnya,
airnya mulai menapaki pemukiman warga. Ah banjir, ya banjir kembali menimpa
kami. Sebenarnya kami sudah terbiasa dengan yang namanya banjir namun kali ini
terasa agak berbeda, seolah ada awan keresahan menaungi kami dan gelisah mengerayangi
setiap mata yang melepaskan pandang keluar rumah. Entah apa yang akan terjadi,
akankah dua bukit yang mengapit kampung kami akan menimbun rumah penduduk?
Ataukah akan tenggelam semua warga pada malam ini?
Senja
sudah berlalu, malampun mulai menyapa hati-hati yang dibalut rasa yang tidak
jelas wujudnya. Air semakin tinggi, rumahku biasanya menjadi langganan luapan
zat cair yang menghancurkan keperkasan Firaun
dan pasukannya, sebuah makhluk yang melenyapkan kaum Nuh dahulu kalanya.
Akankah kami akan binasa? Semoga keresahaan ini hanya sekedar rasa yang tiada
terasa.
Hujan
terus memperlihatkan keperkasaannya, sekarang ia ditemani angin deras seolah
mengejek kami yang berada didalam rumah. Petir, dan gemuruhpun saling
bersahutan. Ibuku mengidap penyakit jantung, ia terlihat begitu ketakutan. Aku
masih lemah, aku belum mampu berjalan dngan baik. bagaimana pula aku membantu
ibuku jika banjir mengamuk menghempaskan
amarahnya sedangkan diriku sendiri tak bisa aku ajak kompromi.
Kakakku
paling tua yaitu "Ni Mai" baru pagi kemaren melahirkan anaknya yang
keempat namanya Sabrina,
anaknya begitu rapat. Bayi yang baru berumur satu hari itu dijaga oleh kakakku
"Ni Ta". "apalah yang bisa dilakukan oleh dua orang tua yang
telah ditinggalkan kekuatanya, dan apalah yang bisa dilakukan seorang wanita
yang baru saja melahirkan kemaren, dan aku seorang remaja yang tiada berdaya
apa yang akan aku lakukan jika ketakutan itu benar-bemar terjadi. Hanya Ni Ta
harapanku, tapi apalah dayanya, bisa menyelamatkan dirinya saja itu sudah
menjadi suatu kebanggaaan." Ucapku dalam hati.
Air
sudah merayap kedalam rumah, ayahku dan kakakku menutup pintu rapat-rapat dan
menyumbat lobang dan celah disudut-sudut pintu dengan kain. Sebenarnya dibagian
luar sudah ditutup yaitu diteras yang ditinggikan tapi kenapa air masuk sampai
keruang depan? Setelah pintu ditutup dan celahnya disumbat ayah dan kakakku
meletakkan barang-barang yang berat dibelaknganya untuk jaga-jaga jika penutup
depan jebol, pintu rumah kami tetap tertutup. Setelah itu kami pergi kebelakang
atau kedapur.
Suara
air disamping rumah kami terdengar begitu jelas, air itu berada diantara rumah
kami dan mesin gilingan padi milik Pak Syarqawi. Sungguh sangat deras seolah ia
berlomba dengan angin yang dari tadi belum reda jua. Kami tidak bisa
kemana-mana. Kami terdiam, air merambat sampai kedapur aku melihat ketiga orang
keponakanku ketakutan dan mereka menggigil kedinginan, Ni Ta menggendong
keponakan kami yang berumur satu hari itu. Aku lupa dengan ibuku entah dimana
dia berada, ayahku terlihat berfikir keras bagaimana caranya menyelamatkan kami, disaat kami dalam
keadan cemas, bingung dan tidak tau
berbuat apa terdengar suara yang menyentakkan lamunan kami "brakkkk....
barakkkkk....." pintu depan kami jebol dan kursi sofa sebagai penopangnya bergelinding
masuk kedalam rumah bersama derasnya air yang keruh penuh lumpur. Jantungku
berdebar ketakutan, akhirnya terjadi juga yang aku khawatirkan.
Karna
terdesak ayahku memerintahkan kami memanjat bak besar dengan tinggi sekitar dua
meter yang berada disudut
ruang belakang, satu persatu kami dianaikkanya. Aku tidak tega melihat kakakku
yang baru saja
melahirkan, ia masih lemah tapi apa boleh buat tidak ada jalan lain kecuali
disini. Setelah semua berada disana tiba-tiba
salah seorang keponakanku memanggil ibuku, "nek, nenek
dimana?" ucapnya dengan bibir bergetar kedinginan. Aku tersentak,
ternyata kami telah kehilangan ibu. "Dimana ibu, apakah sakit
jantungnya kumat dan....., tidak.... tidak... ibu pasti baik-baik saja"
fikirku.
"ibu.....,
ibu...!!!!!!!!! ucapku keras, ibu tidak
menjawab. Ayah juga memanggil ibu, tapi tetap saja tiada jawaban dari ibu.
Semua perabot rumah diporak porandakan tamu yang masuk kerumah kami tanpa diundang,
ia menyusup merusak ketenangan
kami, bahkan ia menanam rasa takut kedalam dada kami. Aku pandang sekelilingku, semua diam, hanya
hening dan wajah pucat yang aku lihat. Aku kembali memanggil ibu dengan suara
keras, "ibuuuu............ ibuuuuuuuuuuuuu!!!!!!" berkali-kali
aku memanggilnya hingga suaraku serak dan kerongkonganku terasa sakit dan
kering. Aku berhenti memanggil ibu, sekarang mataku yang berbicara. Ia
melafazkan kata-katanya dengan tetesan-tetesan bening yang menari dipipiku,
tetesan hangat membasahi wajahku yang sudah pucat kedinginan.
Keadaan begitu menakutkan, aku
mengira kalau banjir akan menelan kami, air yang masuk kerumah kami disertai
dengan lumpur dan sangat deras.
Setelah
beberapa jam, air mulai tenang dan menyusut.
Kamipun turun dan kami mendapati ibu berada diatas tungku untuk memasak, ia terlihat ketakutan
dan Alhamdulillah sakit jantungnya tidak kumat dan yang terpenting kami semua
selamat. Besoknya kami mulai membersihkan rumah dari lumpur, banyak orang yang
membantu kami. Abangku paling tua "Kak Lim" melarangku untuk ikut
membersihkan rumah kami karna keadaanku yang masih lemah.
kisah ini dikutip dari Tulisan Rail Muma dalam "Rindu Ditiup Angin"
Komentar
Posting Komentar