Langsung ke konten utama

Syukur tanpa Bukti Nyata...


Kata Syukur sering kita ucapkan dan sering pula kita dengar, namun syukur itu sendiri susah untuk dipraktekkan. Jika kita buka lembaran sejarah, ketika Nabi Muhammad Shallallhu A’laihi Wasallam bersabda ketika Aisyah –Ridiyallahu A’nha- “kenapa engkau menyibukkan diri dengan ibadah, sedangkan semua dosamu sudah diampuni?” Beliau menjawab “tidak pantaskan aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Syukur


Abu Kilabah seorang ulama yang zuhud selalu berucap “alhamdulillah” padahal dia tidak punya kaki dan tangan, dia juga buta. Dia ditanya “kenapa engkau selalu mengucapkan Alhamdulillah, sdengakan keadaanmu menyedihkan seperti  ini” ia menjawab “aku bersyukur masih diberi akal, masih diberi lisan yang bisa berzikir kapada Allah”

Sekarang kita lihat bagaimana aplikasi Syukur itu dalam kehidupan sehari-hari, Saya akan sebutkan beberapa sikap orang-orang yang berinteraksi langsung dengan Saya dalam beberapa permasalahan.

Setelah Saya lulus kuliah saya menghubungi seorang teman yang diutus untuk bekerja di daerah lain, dalam kesempatan itu Saya menanyakan tenttang gaji padanya dia menjawab “Ma’as Syukur Yakfiny” yang artinya dengan bersyukur cukup bagiku. Dia tidak mengatakan jumlahnya, yang dia katakan adalah syukur. Saya tidak menyangka akan mendengar kata-kata ini darinya, karna sebagian kawan mengeluh dengan upahnya yang menurut mereka kecil.

Bulan baru sudah menyapa, gaji untuk satu bulanpun berada ditangan. Diruang kerja kami melihat-lihat slip gaji dan menghitung pengeluaran bulan ini, sebagian teman berkata “uang saya hanya tinggal sekian, untuk bayar biaya ini sekian, bayar utang pada sifulan sekian, untuk itu sekian” dia terlihat mengeluh dengan apa yang dia peroleh. Saya ambil pulpen dan secarik kertas dan Saya tulis pengeluaran saya yang akan dipenuhi dengan gaji bulan tersebut, hasilnya Saldo Saya minus. Saya tersenyum dan perlihatkan pada teman tersebut, dengan maksud mengatakan bahwa kamu lebih beruntung daripada saya.

Salah seorang teman berkata “pekerjaanku tidak cocok dengan pendidikanku” dia mengeluhkan bidang pekerjaan yang digelutinya karna tidak sesuai dengan Ijazahnya. Saya jawab “teman, kamu masih beruntung. Kamu bekerja dibagian yang kamu suka, kamu juga memiliki kemampuan didalamnya. Sedangkan aku diletakkan pada pekerjaan yang tidak aku sukai dan aku juga tidak memiliki basic tentang pekerjaan tersebut. Seandainya aku diletakkan dibagian pertamanan dan aku memiliki bakat tentang hal itu, tentulah aku akan memilih berkotor-kotor ditaman daripada dikantor yang aku tidak memiliki minat dan bakat dalam bidang pekerjaan yang aku geluti. Biarlah Ijazah Sarjanaku itu menganggur, asalkan aku bekerja pada pekerjaan yang aku mampu mengembangkan diriku didalamnya dan bisa mengembangkan dan meningkatkatkan kualitas bagian pertemanan”

“keadaanku menyedihkan, orang tuaku tidak mau menyekolahkanku” ucap salah seorang kerabat Saya. “kamu kenal ibuk Fulanah?” tanya Saya. “bagaimana ibuk tersebut memperlakukan anak-anaknya?, mereka yang masih SD tidak dikasih makan, lauk dan nasi disimpan dikamarnya kemudian dikunci. Kalau mau makan cari sendiri, padahal mereka masih anak-anak. Sedangkan kamu bisa makan sepuasnya, orang tuamu tidak menyekolahkanmu bukan karena tidak mau, tapi keadaan yang membuatnya seperti ini”
.
Mungkin kebanyakan kita belum menemukan orang tua yang seperti ini, orang tua yang tidak memperdulikan anak-anaknya, Saya sudah menyaksikan dua orang ibu yang tidak menyayangi anak-anaknya. Sehingga anak-anaknyapun membenci ibunya, Saya mengetahui hal ini karna Saya berteman dengan anak-anak mereka. Maka janganlah mengeluh jika orang tua kita tidakmenyekolahkan atau menguliahkan kita karna faktor ekonomi yang tidak mendukung atau tidak membelikan barang-barang yang kita inginkan. Kasih sayang dan perhatian dari orang tua takkan ternilai dengan apapun, mereka akan memberikan apa saja yang mereka mampu untuk kebaikan dan kebahagian sang anak.

            Seorang nenek menyampaikan keluhannya pada Saya “hah, beginilah kalau sudah tua. Mau jalan susah, duduk sakit-sakit, mau tidur tidak tenang”. Saya jawab “Buk, ibuk masih beruntung karna ibuk masih punya  Suami, Anak-anak ibuk masih sering mengunjungi ibuk. Coba lihat, Nenek Fulanah, dia hidup sendirian dan umurnyapun lebih tua dari ibuk”. “ya kamu benar nak, Ibuk masih beruntung maka sepantasnyalah ibuk bersyukur” balasnya.

Terakhir Saya sampaikan tentang diri Saya sendiri, Mungkin kata ganti “Aku” lebih cocok digunakan disini.
Pada tahun 2005 Aku ditimpa penyakit lumpuh, seluruh tubuhku tidak bisa digerakkan kecuali bagian kepala saja. Saat itu Aku kelas 1 SMP, hasil analisa sementara Rumah Sakit menyatakan  kalau Aku terkena Polio atau lumpuh layu yang sedang merebak. Pada saat itu belum ditemukan obat untuk mengobati Polio atau lumpuh layu dan sampai sekarangpun Aku belum mendengar ada penderita Polio atau Lumpuh layu yang sembuh dari penyakitnya. Tentunya kabar dari Rumah Sakit mematahkan semangat hidupku, bagiamana tidak, Aku harus menghabiskan sisa hidupku diatas ranjang penantian. Menantikan malaikat maut untuk mambawa ruhku ke alam Baqa. Cita-citaku gelap, jalanku menuju sukses tertutup, bungaku kan dipetik orang, Kewibawaanku hilang, tiada masa depan untukku, aku tidak bisa membangun keluarga, tidak akan memiliki anak, sekolahku terhenti, pokoknya hanya gelap dan sedih jika bicara tentang sicacat sepertiku.

Beberapa hari dirumah sakit aku dibawa Pulang orang tuaku karna kekurangan dana, hiduplah aku saat itu seperti bayi, bahkan lebih parah lagi. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali aku bergantung pada orang lain, yang paling menyedihkan, jika aku ingin buang air, atau gatal-gatal tidak ada orang yang bisa membantuku, aku hanya berusaha menahannya sampai ada orang datang. Anak-anak mempermainkanku, mereka pegang telingaku, mencentil kepalaku kemudian lari, teman-teman dan sebagian orang yang tidak berpendidikan mngejekku dengan berbagai macam “sebutan” untuk orang cacat. Kesedihan orang tuaku begitu dalam, mereka berusaha keras untuk menyembuhkanku.

Pertanyaannya, seandainya Anda berada diposisi Saya yang lumpuh diusia dini, bagaimana perasaan Anda? Putus asa? Atau Frustasi?.
Sekarang pertanyaan tentang Saya saat itu, apakah Saya bersedih? Ya, Saya Sangat sedih, apakah Saya menangis? Tentu, bagaimana mungkin Saya mampu menahan air mata Saya dalam keadaan seperti itu. Apakah Saya Putus Asa?, Tidak, sama sama sekali tidak. Saya akan terus berdoa dan berusaha untu kesembuhan Saya. Bagaimana perasaan Saya saat itu? “Saya bersyukur karna Saya tidak kehilangan Aqidah Saya yang menjadi kunci selamat diakhirat dan tidak kehilangan Akal Saya yang menjadi kunci selamat didunia”.

Biarkan anak-anak itu mempermainkan Saya, biarkan orang Jahil mengolok-ngolok Saya, Saya Yakin ada hikmahnya dari apa yang Saya derita. Jika Allah berkehendak Saya sembuh maka Saya akan sembuh. Dan Alhamdulillah dalam jangka waktu beberapa bulan Saya mulai berangsur sembuh, beberapa tahun berlalu hingga hari ini dipengakhir tahun 2016 sudah 95 Persen kesembuhan pada tubuh Saya.

Pertanyan terpenting dan merupakan tujuan dari penuturan kisah diatas,  bagaimana caranya anak kecil yang baru berumur 13 tahun bisa menerima musibah besar yang menimpanya dengan lapang dada dan menyempatkan diri untuk bersyukur?  Jawabannya adalah “iman dan taqwa”. Kita meyakini bahwa frekuensi  iman itu naik turun, setelah Saya lulus SD, Saya rajin kemesjid disana Saya belajar dengan seorang Ustad, setiap selesai shalat Saya mendengarkan Nasehat dari beliau, hingga hati Sayapun terikat kepada Masjid, hati Saya selalu Rindu kepada nasehat dan pituah-pituan Sang Ustad. Tiada tempat yang paling tentram dan nyaman bagi Saya saat itu kecuali Masjid. Kurang lebih setaun lamanya yaitu dari awal kelulusan Saya dari SD sampai akhir semester 2 di SMP Saya selalu shalat dimasjid kecuali Shalat Zhuhur karna Saya mengakhirkannya sampai pulang sekolah.

Harapan terbesar Saya ketika Saya lumpuh tersebut cukup sederhana, Saya selalu berdoa agar bisa pergi ke masjid, tidak masalah harus pakai tongkat atau membutuhkan waktu lama, Yang penting Saya sampai di masjid. Sesungguhnya Allah taala Maha Pengasih, Maha Penyayang, Saya bukan hanya bisa kemasjid tapi bisa kemana saja yang Saya Inginkan jika Allah mengizinkan. Tapi sayangnya setelah Saya sembuh, iman Saya menipis, Kerinduan pada masjid ditiup angin, Shalatpun sudah ditinggalkan, karna saat Saya Lumpuh Saya tidak Shalat karna kata Ayah Saya susah mengurusi Saya 5 kali sehari untuk Shalat, sebaiknya tunggu sembuh saja. Maklumlah Ayah saya tidak begitu memahami pentingnya Shalat, disini Saya baru bersedih yang lebih dalam dari kesedihan atas penyakit yang menimpa Saya, awalnya Saya tetap Shalat tampa Whudu atau Tayamun dan tanpa menghadap kiblat, namun lama-kelamaan Saya mulai meninggalkan Shalat.Tapi Alhamdulillah sejak tahun 2011 silam Saya mulai melaksanakan Shalat dengan teratur.

Kembali kelembaran sejarah, ketika  Shakhar saudara Khansa’ – Radiyallahu Anha- meninggal dalam perperangan diantara suku arab ia melantunkan sair meratapi kepergian saudaranya yang artinya “kalau bukan karna banyaknya orang-orang yang meratap disekitarku, tentulah aku sudah bunuh diri” ia sangat bersedih karna Shakar adalah saudara yang paling disayangaginya. Pada saat itu beliau belum masuk Islam. Keadaan berbalik 180 derajat setelah iman mengalir dalam darahnya, pada suatu perang antara kaum muslimin melawan orang kafir dikabarkan padanya bahwa empat orang anaknya meninggal dunia sekaligus dalam peperangan yang mereka ikuti.

Bagaimanakah sikapnya? Dia meratap seperti saat saudaranya meninggal? Dia berucap “ Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan Syahidnya mereka”. Kahnsa’ bersyukur karna iman danTaqwa telah menjadi pakaiannya.


Ingatlah selalu hadist Rasulullah  Shalallahu Alaihi Wasallam “sungguh betapa beruntungnya orang Mukmin, jika dia ditimpa kesusahan maka dia bersabar dan itu baik baginya. Dan jika dia diberi kesenangan maka dia bersyukur maka itu baik baginya”

Jika Anda ditimpa penyakit, ingatlah bagaimana Nabi Ayub Alaihissalam, Jika Anda belum Punya Anak, Ingat Nabi Ibrahim dan Zakaria, Jika Anda terbuang dan tidak punya keluarga Ingatlah Nabi Yusuf dan Salman Alfarisi, Jika Anda di Usir dari kampung, Ingat Imam Ibnu hazm. sungguh jika kita membaca sejarah para nabi dan sahabat, serta ulama pastilah kita dapati perkara mereka lebih besar dari pada kita.

Mereka yang susah punya anak, setelah bertahun-tahun menunggu dan sang istri hamil, ternyata Allah menakdirkan kalau anak mereka meninggal sebelum dilahirkan. 

Ibu yang meninggal, bahkan kedua orang tua meninggal saat ia masih balita,

 Banyaknya anak-anaknya yang gila atau idiot karna faktor keturunan, 

Mengurus Ibu yang struk dan tidak bisa berbuat apa-apa, ditambah 3 orang keponakan karna orang tuanya meninggal dan 1 orang adik yang masih kecil.


 Saya saksikan sendiri bagaimana mereka menjalani semua itu, dan saya rasa tidak perlu memperpanjang tulisan ini dengan penjelasan tentang kehidupan mereka. cukuplah bagi kita mengetahui bahwa sepantasnya kita bersyukur dengan apa yang kita peroleh. 

Memang syukur merupakan nikmat terbesar dari Allah taala yang patut kita Syukuri. Semoga kita termasuk kedalam hamba-hamaba Allah yang bersyukur Amin



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajib Diketahui Oleh Pecinta Sepak Bola...

Ada apa dengan kostum sepak bola? Sepak bola merupakan olah raga yang paling banyak penggemarnya, setiap penggemar memiliki klub dan pemain faforit. Terkadang semua aksesoris yang bertuliskan nama dan gambar klub atau pemain idolapun menjadi koleksi wajib bagi para pecinta sepak bola. Nah, bagaimana bila kita sebagai seorang muslim menjadi penggemar klub  atau pemain yang kafir kemudian membeli pernak-pernik yang berkaitan dengan mereka terutama kostum yang mengandung unsur atau lambang agama dan keyakinan mereka seperti lambang salib dan setan merah? Jika kita perhatikan terdapat beberapa kostum tim sepak bola yang mengandung unsur salib seperti Barcelona, AC Milan, Timnas Brazil, Timnas Portugal, Intermilan, sedangkan lambang setan terdapat pada  MU.  Meskipun begitu masih banyak kaum muslimin yang tidak memperdulikan hal ini khususnya Indonesia. Berbeda dengan dua Negara bagian Malaysia beberapa tahun yang lalu telah melarang hal ini. Dewan Keagamaan Johor d

Mengisi Ramadan dengan nasyid

  Dalam KBBI nasyid diartikan sebagai lagu yang mengandung unsur keislaman, sedangkan dalam kamus “ Lisanul Arab ” nasyid artinya menyanyikan syair. Dari dua pengertian ini dapat kita pahami bahwa nasyid adalah lagu atau nyanyian. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Hakim hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya bahwa nasyid yang sekarang itu adalah nyanyian, bukan seperti yang dibaca oleh para sahabat saat menggali parit atau saat perang, yang mereka baca adalah syair.     Kita sama-sama tahu bahwa membaca syair oleh orang arab memiliki cara tersendiri, jika dicari persamaannya di Indonesia maka membaca syair serupa dengan membaca pantun atau puisi. Apakah membaca puisi atau pantun sama dengan cara menyanyikan nasyid atau kasidah itu? Jawabnya jelas tidak sama. Lalu apa hukum menyanyikan nasyid? Syaikh Shaleh Al Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video tanya jawab menyebutkan “kami tidak menemukan pensyariatannya, jika nasyid tersebut tidak disandarkan

Kita pasti berpisah, semoga esok kembali berkumpul

Dalam menjalani kehidupan ini terkadang kita harus pergi, pergi jauh dari kampung halaman. Banyak tujuan yang kita bawa, ada yang menuntut ilmu, ada yang mencari nafkah dan tujuan lainnya. Walau apapun tujuannya, ke manapun perginya, pasti ia merindui kampung halamannya, pasti ia merindukan orang-orang yang disayangi, ingin kembali berkumpul dengan keluarga, sebab di sana ada kebahagiaan. Keindahan dan kedamaian itu ada di kampung halaman, ketika hati gelisah maka pulanglah, ada orang tua di sana, ada sanak saudara, ada sawah yang berjenjang dilengkapi burung-burung yang berbondong, ada sungai  beserta suara gemerciknya dan bebukitan dengan pohong-pohon yang menghijau. Indah dan damai.   Kita pasti kembali   Ibnu Umar  rhadiyallahu anhuma   berkata bahwa Rasulullah  shalallahu alaihi wasallam   bersabda :   كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاء