Langsung ke konten utama

10 kekeliruan dalam berpuasa dan menjalani Ramadan

 

Kekeliruan saat berpuasa dan di bulan Ramadan

Keliru artinya salah, bisa juga bermakna tidak tepat. Dalam banyak hal kita melihat dan mengetahui bahwa ada kesalahan dalam pelaksanaannya, baik yang melakukannya orang lain ataupun kita sendiri. Hal itu terjadi karena tidak  adanya ilmu, tidak mengetahui hukum dan prosedur yang benar. Dalam Islam amalan yang salah tidak akan diterima, bahkan pelakunya bisa saja diberi hukuman yaitu neraka. Oleh sebab itu setelah kita mengetahui hukum-hukum yang ada pada puasa dan Ramadan, hendaklah kita juga mengetahui hal yang salah atau keliru yang terjadi pada bulan Ramadan agar kita tidak terjatuh ke dalamnya.

 


 

Pertama, menonton tayangan TV yang tidak mendidik dan sinetron di malam hari.

Dulu biasanya sebelum berbuka akan ada acara lucu-lucuan yang ditayangkan di televisi nasional begitu pula pada waktu sahur,  gunanya untuk menghibur penonton dan terkadang isinya adalah hal-hal yang tidak senonoh. Sedangkan malamnya ditayangkan sinetron Ramadan, maka habislah waktu umat Islam berduaan dengan televisi, mereka khusyuk menyaksikan acara-acara yang tidak bermutu itu.

Semua itu tidak ada manfaatnya dan sebagai seorang muslim kita diperintahkan untuk meninggalkan hal yang tidak bermanfaat, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam  :

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Diantara bentuk baiknya agama seorang muslim adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya. (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)

 

Kedua, membangunkan orang, sahur... sahuuur!

Tidak jarang kita mendengar suara orang yang membangunkan masyarakat dengan berteriak keliling kampung dengan berkata “sahuuur, sahuuur”  terkadang diiringi dengan memukul kaleng atau ember, ada juga yang mencukupkan dengan mikrofon masjid.

Hal ini tidak ada tuntunannya dalam syariat Islam, kegiatan seperti ini dapat mengganggu masyarakat. Jika mereka membangunkan terlalu cepat maka mengganggu tidur masyarakat, terkadang mereka meribut pada jam tiga pagi, padahal azan subuh pada jam lima. Jika bangun cepat dan sahur lebih awal jelas ini meninggalkan sunnah maka sahur, yaitu mengakhirkannya. Jika dibangunkan agak lama atau jam empat atau setengah lima dapat mengganggu orang yang istirahat atau sedang salat sunnah atau membaca Alquran pada jam itu.

 

Ketiga, mulai puasa berdasarkan jadwal imsak pada kalender Ramadan.

Dulu kami berpuasa berpedoman kepada kalender Ramadan, disana ada kolom imsak, kalau tidak salah 10 menit sebelum azan. Maka berhentilah kami makan dan minum pada waktu yang tertulis itu, padahal yang benar adalah berhenti makan dan minum ketika waktu salat subuh masuk yaitu saat azan berkumandang, bukan waktu imsak pada kalender itu. Namun jika ia digunakan untuk peringatan maka tidak mengapa, tapi jika itu sandaran akhir makan sahur tentu ini sebuah kekeliruan.

Ibn Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata : diantara bentuk bidah yang munkar pada zaman ini (zaman Ibn Hajar) adalah dikumandangkannya azan kedua sekitar tiga perempat jam sebelum waktu salat masuk dan lampu-lampu dimatikan sebagai tanda haramnya makan dan minum bagi yang akan berpuasa, mereka beranggapan itu adalah kehati-hatian dalam beribadah, sebab hanya segelintir orang yang tahu kapan waktu fajar masuk. Karena hal itu pula mereka mengakhirkan azan Magrib beberapa saat setelelah matahari terbenam, itu pemahaman mereka. Hasilnya mereka melambatkan waktu berbuka dan mempercepat akhir waktu sahur, mereka telah menyelisihi sunnah, oleh sebab itu sedikit diantara mereka yang meraih kebaikan dan banyak yang mendapat keburukan, allahu mustaan.[1]

 

Keempat, pulang terlebih dahulu dari imam.

Ada pula kebiasaan para jamaah salat tarawih yang menyelisihi ajaran Nabi shalallahu alaihi wasallam walaupun ia tidak berdosa, tapi ia telah meninggalkan yang lebih baik dari yang ia kerjakan. Mereka pulang terlebih dahulu sebelum imam selesai salam pada akhir salat, hal ini karena mereka beranggapan jika telah selesai salat witir maka tidak boleh salat malam lagi, mereka bersemangat untuk salat malam dikarenakan ini bulan Ramadan.

Sebenarnya yang dilarang adalah mengerjakan salat witir dua kali dalam satu malam, sedangkan salat malam boleh dikerjakan sebagaimana yang dikehendakinya. Bahkan apa yang diharapkan oleh mereka yang pulang duluan itu sudah ada pada salat yang dilaksanakan bersama imam jika mereka salat sampai selesai, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menyebutkan bahwa yang salat bersama imam sampai selesai mendapat pahala salat semalam penuh, bukankah ini yang mereka harapkan? Bahkan lebih dari yang mereka harapkan, sebab kalaupun mereka salat lagi, mungkin sanggup beberapa rakaat, sedangkan salat bersama imam dapat pahala salat semalam penuh.

Sebagaimana dalam hadis:

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

Siapa yang salat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala salat satu malam penuh. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

 

Kelima, menganggap waktu subuh terlalu cepat 20 menit?

Kami juga pernah menemui beberapa orang yang menganggap waktu subuh terlalu cepat 20 menit, sehingga mereka tetap makan walaupun azan sudah selesai dikumandangkan. Diantara pengusung mazhab ini adalah sebuah majalah Islam, yaitu Majalah Qiblaty. Mereka mengatakan berdasarkan penelitian mereka waktu salat subuh yang ditetapkan pemerintah terlalu cepat 20 menit, maka harus diakhirkan sampai waktunya masuk.

Bagi kita tentu ini tidak ada masalah, sayangnya mereka tidak konsisten. Di bulan Ramadan mereka masih makan walaupun azan sudah selesai, ketika ia di kampungnya ia salat subuh bersama masyarakat, artinya ia salat bukan pada waktunya berdasarkan pemahaman mereka, jika iqamah dilambatkan tentu tidak mengapa, tapi ada sebagian masjid yang melaksanakan salat antara 5 sampai 10 menit setelah azan.

Ada juga diantara mereka yang konsisten, jika orang kampungnya salat subuh lebih cepat dari yang semestinya, tentu ini berdasarkan pemahamannya, maka ia salat di masjid bersama jamaah dalam rangka salat sunnah, setelah pulang baru ia laksanakan salat wajib. Salah seorang dosen kami saat kuliah dulu pernah meneliti waktu salat subuh dan yang beliau temui hasilnya memang lebih cepat 20 menit, kami bertanya “apakah setelah tahu hal itu ustadz mengahirkan waktu salat subuh 20 menit dari waktu biasa di tengah masyarakat?” beliau menjawab “iya”

Kami menanyakan hal ini kepada Syaikh Abdurrahman Al Musyaiqih hifizahullah, beliau menjawab : pandangan ini ada kemungkinan benar dan padanya terdapat keragu-raguan, yang semestinya kita lakukan adalah beramal dengan yang yakin, yaitu apa yang dilakukan kebanyakan masyarakat dan apa yang ditetapkan pemerintah, sampai kita yakin bahwa waktu yang sekarang dipakai oleh kebanyakan kita adalah salah, barulah kita pindah ke waktu yang kita yakini benar itu.

Kami juga menanyakan hal ini kepada Syaikh At Tubaysy hafizahullah, beliau mengatakan : masyarakat wajib mengikuti para ulama agar benar-benar tepat dalam waktu salat subuh dan wajib memperingati yang lain untuk tidak mengikuti waktu di kalender jika waktu yang ada benar salah. Dan tidak ada seorangpun dapat mengklaim bahwa waktu salat subuh lebih cepat kecuali dengan bukti yang jelas, terlebih sangat sulit melihat masuknya waktu salat subuh jika berada di perkotaan, karena adanya penerangan. Maka wajib bagi kita mengambil pendapat Majleis Ulama negara kita tentang benar atau tidaknya jadwal yang dibuat pemerintah, kalua ada sebagian orang yang dapat dipercaya dalam hal ini maka kita wajib bertanya pada mereka.

Berdasarkan keterangan diatas dapat kita pahami bahwa yang wajib kita ikuti adalah pemerintah atau MUI atau orang yang dipercaya, oleh karena itu kita berharap kejelasan perkara ini dengan adanya kerja sama antara para ustadz yang menyatakan bahwa waktu salat subuh terlalu cepat dengan pemerintah atau MUI, sehingga ketika ada kesepakatan jelaslah bagi kita kebenarannya.

Diantara bentuk kesalahan pada waktu masuknya waktu salat subuh adalah adanya sebagian orang yang masih makan ketika azan berkumandang, mereka bernaggapan bahwa waktu sahur berakhir sampai muadzin selesai azan, padahal yang benar waktu sahur berakhir ketika waktu salat subuh masuk, yaitu awal muadzin mengumandangkan azan.

 

Keenam, tidak makan sahur.

Sebagian kaum muslimin tidak makan sahur ketika berpuasa, padahal pada sahur terdapat berkah sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya. Makan sahurlah walau sesuap nasi atau sebutir kurma atau seteguk air agar kita meraih berkah itu.

Mengapa mereka tidak makan sahur? Mungkin karena malas bangun atau merasa tubuhnya kuat. Jika karena malas bangun maka hilanglah keberkahan ibadah akhir malam darinya, jika karena merasa tubuhnya kuat, tentu kalau ia makan sahur akan bertambah kekuatannya.

Tidak makan sahur termasuk cara puasa Yahudi dan Nasrani, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam  bersabda :

فَصْلٌ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَ صِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

Beda puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur. (HR. Muslim)

 

Ketujuh, terlambat salat Isya karena mengejar salat tarawih di masjid tertentu.

Syaikh Abdul Aziz Muhammad As Sadhan hafizhahullah berkata : sebagian orang sengaja pergi salat ke masjid yang ia sukai, terkadang dalam perjalanannya menuju masjid tersebut azan Isya sudah berkumandang, namun ia tetap melanjutkan perjalannnya demi salat di masjid tujuannya, sehingga saat ia sampai ia terlambat salat isya atau tertinggal seluruh rakaatnya, padahal banyak masjid yang ia lewati sepanjang perjalanannya[2].

Inilah adalah perbuatan yang sangat jelas salah dan pelakunya berdosa, bagaimana mungkin ia melalaikan salat Isya berjamaah yang wajib demi salat tarawih yang sunnah!

 

Kedelapan, mengakhirkan sedekah atau infak sampai hari raya.

Kami menemukan kebiasaan sebagian masyarakat yang bersedekah pada hari raya, nanti dibacakan di depan jamaah Id. Seolah mereka berbangga-bangga dengan sedekah itu, “fulan sejuta” “fulanah dua juta” maka dikhawatirkan ada riya di dalamnya.

Mereka sudah menyiapkan sedekah itu jauh-jauh hari dan diserahkan pada hari raya sebelum salat didirikan, padahal ibadah terbaik adalah di bulan Ramadan. Seharusnya sedekah itu diserahkan pada bulan Ramadan, kalau bisa pada malam-malam yang ada kemungkinan malam lailatulkadar agar diraih pahala yang berlipat ganda. Dikhawatirkan akan berkurang keihklasan atau bahkan menghilang dari hati, karena ketika nama disebutkan dengan jumlah berjuta akan muncul kebanggaan dalam diri, kebanggaan itu akan menjadi bumerang nantinya di hari pembalasan. Jika ada unsur riya di dalamnya, kita khawatir pahala sedekah akan hilang, Allah taala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْداً لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membatalkan  sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti hati penerima, seperti orang yang memginfakkan  hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu disiram hujan lebat, batu itupun bersih. Mereka tidak mampu atas sesuatupun dari apa yang mereka usahaka dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Qs. Al Baqarah : 264)

Seandainyapun tidak ada riya, tetap orang tersebut rugi, sebab pahala yang besar ada pada bulan Ramadan, tapi malah ia memilih bulan Syawwal.

 

Kesembilan, salat pakai tirai, waktu ceramah tirai dibuka.

Tidak jarang kita melihat di banyak masjid atau musalla dimana mereka memasang tirai atau penghalang anatara saf  laki-laki dan wanita, tirai itu dipasang ketika salat dilaksanakan, ketika ada ceramah tirai dibuka.

Pertanyaannya untuk apa tirai itu dipasang? Kalau untuk menutupi para wanita agar tidak terlihat, seharusnya ketika ceramah lebih layak untuk ditutup, karena saat ceramah ustadz atau penceramah menghadap ke belakang, tentu ia akan melihat wanita yang ada di belakang. Bukan hanya itu, kita juga menyaksikan bapak-bapak yang hadir akan mencari tempat bersandar, sebagian ke dinding samping, sebagian ke dinding depan, maka terjadilah saling pandang antara jamaah laki-laki dan wanita.

Tirai ditutup ketika salat didirikan, padahal jamaah waktu salat pandangannya fokus, yang laki-laki kalau berdiri mereka melihat ke tempat sujud, yang wanitapun begitu, seandainyapun mereka melihat ke depan, yang terlihat hanya punggung saja. Lalu apa gunanya tirai ditutup? Padahal ibu-ibu yang salat di masjid juga butuh tahu apa yang terjadi di depan, seandainya saja imam sujud tilawah dan mereka tidak tahu kalau yag dibaca imam adalah ayat sajadah, ketika imam bertakbir tentu mereka akan rukuk, padahal yang laki-laki sujud.

Di zaman Rasulullah shalallahu alaihi wasallam  para wanita juga salat di masjid dan tidak ada tirai, seandainya Rasululllah mau, mudah untuk membuat tirai. Aisyah berkata :

إِنْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ، فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ، مَا يُعْرَفْنَ مِنَ الْغَلَسِ

Di zaman Rasulullah shalallahu alaihi wasallam  para wanita muslimat ikut salat subuh, kemudian mereka pergi dengan penutup kepala dan wajah, mereka tidak terlihat karena hari masih gelap. (HR. Muslim)

Syaikh Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah mengatakan : para wanita pulang terlebih dahulu, namun mereka tidak terlihat oleh jamaah laki-laki karena masih gelap.[3] Artinya mereka tidak terlihat karena kedaan masih gelap, bukan karena tirai pembatas.

Lalu bolehkah pakai tirai? Boleh saja jika mereka pakai tirai, tapi tetap dipasang ketika ada ceramah, karena saat itulah tirai lebih dibutuhkan. Kalau saat salat dipasang dan saat ada ceramah dibuka sehingga peneramah dan jamaah laki-laki memandang jamaah wanita, maka kami tanya sekali lagi, apa guna tirai itu sebenarnya?

 

Kesepuluh, ngabuburit.

Ngabuburit adalah menunggu waktu berbuka, banyak para remaja dan pemuda yang berkumpul di restoran atau tempat rekreasi untuk menunggu waktu berbuka. Waktu itu mereka gunakan untuk bercanda ria atau untuk pacaran, ketika azan berkumandang mereka sibuk dengan perbukaan, sebagian mereka bahkan tidak salat. Seharusnya waktu menunggu berbuka diisi dengan ibadah, zikir dan doa. Karena saat itu termasuk waktu utama dikabulkannya doa, Nabi shalallahu alaihi wasallam  bersabda :

إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ

Sesungguhnya untuk orang puasa ada doa yang tidak tertolak. (HR. Ibnu Majah)

 



[1] Ibn Hajar/Fathul Bari Syarhu Sahih Al Bukhari/Idza Afthara Fi Ramadan

[2] Syaikh Abdul Aziz Muhammad As Sadhan/Mukhalafat Ramadhan/Mukhalafatus Shaim/Tafwitu Shalatil Isya Lialit Tarawih

[3] Abdullah Bin Abdurrahman Alu Bassam/Taisirul Allam Syarh Umdatil Ahkam/Kitabus Shalah/ Syarah Hadits Ke 45.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajib Diketahui Oleh Pecinta Sepak Bola...

Ada apa dengan kostum sepak bola? Sepak bola merupakan olah raga yang paling banyak penggemarnya, setiap penggemar memiliki klub dan pemain faforit. Terkadang semua aksesoris yang bertuliskan nama dan gambar klub atau pemain idolapun menjadi koleksi wajib bagi para pecinta sepak bola. Nah, bagaimana bila kita sebagai seorang muslim menjadi penggemar klub  atau pemain yang kafir kemudian membeli pernak-pernik yang berkaitan dengan mereka terutama kostum yang mengandung unsur atau lambang agama dan keyakinan mereka seperti lambang salib dan setan merah? Jika kita perhatikan terdapat beberapa kostum tim sepak bola yang mengandung unsur salib seperti Barcelona, AC Milan, Timnas Brazil, Timnas Portugal, Intermilan, sedangkan lambang setan terdapat pada  MU.  Meskipun begitu masih banyak kaum muslimin yang tidak memperdulikan hal ini khususnya Indonesia. Berbeda dengan dua Negara bagian Malaysia beberapa tahun yang lalu telah melarang hal ini. Dewan Keagamaan Johor d

Mengisi Ramadan dengan nasyid

  Dalam KBBI nasyid diartikan sebagai lagu yang mengandung unsur keislaman, sedangkan dalam kamus “ Lisanul Arab ” nasyid artinya menyanyikan syair. Dari dua pengertian ini dapat kita pahami bahwa nasyid adalah lagu atau nyanyian. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Hakim hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya bahwa nasyid yang sekarang itu adalah nyanyian, bukan seperti yang dibaca oleh para sahabat saat menggali parit atau saat perang, yang mereka baca adalah syair.     Kita sama-sama tahu bahwa membaca syair oleh orang arab memiliki cara tersendiri, jika dicari persamaannya di Indonesia maka membaca syair serupa dengan membaca pantun atau puisi. Apakah membaca puisi atau pantun sama dengan cara menyanyikan nasyid atau kasidah itu? Jawabnya jelas tidak sama. Lalu apa hukum menyanyikan nasyid? Syaikh Shaleh Al Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video tanya jawab menyebutkan “kami tidak menemukan pensyariatannya, jika nasyid tersebut tidak disandarkan

Kita pasti berpisah, semoga esok kembali berkumpul

Dalam menjalani kehidupan ini terkadang kita harus pergi, pergi jauh dari kampung halaman. Banyak tujuan yang kita bawa, ada yang menuntut ilmu, ada yang mencari nafkah dan tujuan lainnya. Walau apapun tujuannya, ke manapun perginya, pasti ia merindui kampung halamannya, pasti ia merindukan orang-orang yang disayangi, ingin kembali berkumpul dengan keluarga, sebab di sana ada kebahagiaan. Keindahan dan kedamaian itu ada di kampung halaman, ketika hati gelisah maka pulanglah, ada orang tua di sana, ada sanak saudara, ada sawah yang berjenjang dilengkapi burung-burung yang berbondong, ada sungai  beserta suara gemerciknya dan bebukitan dengan pohong-pohon yang menghijau. Indah dan damai.   Kita pasti kembali   Ibnu Umar  rhadiyallahu anhuma   berkata bahwa Rasulullah  shalallahu alaihi wasallam   bersabda :   كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاء