Terdapat beberapa pertanyaan penting ataupun sering dilontarkan tentang puasa dan Ramadan, berikut 20 pertanyaan dan jawabannya yang berkaitan dengan puasa dan Ramadan :
Pertama, apakah salat malam bulan Ramadan memiliki jumlah rakaat yang ditetapkan?
Tidak ada ketentuan dalam jumlah rakaat pada salat malam di bulan Ramadan, namun yang paling baik adalah salat dengan jumlah rakaat yang ada pada sunnah Nabi shalallahu alaihi wasallam yaitu 11 rakaat. Sebagaimana Aisyah rhadiyallahu anha ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman rhadiyallahu anhuma tentang salat malam Nabi shalallahu alaihi wasallam selama Ramadan, maka beliau menjawab :
مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ، وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Jumlah rakaatnya pada Ramadan dan bulan lainnya tidak lebih dari 11 rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, apakah makmum harus mengikuti imam pada jumlah rakaat salat tarawih?
Sunnahnya makmum salat bersama imam sampai selesai, jika ia pergi sebelum imam selesai maka ia tidak mendapat pahala yang Nabi shalallahu alaihi wasallam sebutkan :
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ، كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Siapa yang salat bersama imam sampai selesai, maka dicatat baginya pahala salat semalam penuh. (HR. Nasai dan Tirmizi)
Ketiga, apa hukum orang yang puasa tapi tidak salat?
Orang yang puasa namun tidak salat, tidak ada guna puasanya. Salat adalah tiang agama, jika tiang tidak ada maka runtuhlah agama itu. Oleh karena itu kita sampaikan pada orang yang seperti ini “bertobatlah dan laksanakan salat serta puasa, semoga Allah menerima tobatmu”
Keempat, apakah anak kecil diperintahkan untuk puasa seperti salat?
Ya, anak-anak yang belum baligh diperintahkan untuk puasa jika mereka mampu, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat dahulunya. Dan perlu diingat bahwa sebagian orang tua yang melarang anak-anak mereka untuk puasa dengan alasan kasihan atau sayang pada mereka adalah sebuah kesalahan, karena sayang pada anak adalah mendidik mereka menjalankan syariat Islam, bukan memanjakan atas dasar perasaan.
Kelima, apa hukum orang puasa yang tidur sepanjang siang Ramadan?
Puasa mereka sah dan mereka bebas dari kewajiban, namun pahalanya sangat minim sekali, karena mereka tidak berada pada jalan tujuan disyariatkannya puasa yaitu untuk menjadi orang yang bertakwa, tidur sepanjang hari bukanlah cara untuk menjadi hamba yang bertakwa.
Keenam, apakah niat puasa Ramadan cukup satu kali di awal bulan atau harus berniat setiap malamnya?
Yang benar adalah cukup satu kali niat saja di awal bulan, kecuali jika puasanya pernah batal, maka ia mesti berniat kembali.
Ketujuh, apa patokan akhir waktu sahur?
Patokan akhir waktu sahur adalah terbit fajar yaitu masuknya waktu salat subuh. Dulu waktu kami kecil dalam menentukan batas akhir makan sahur kami melihat ke waktu imsak yang tertera pada kalender Ramadan, biasanya 10 menit sebelum waktu subuh masuk berdasarkan hisab mereka, padahal yang benar sahur berakhir ketika waktu salat subuh masuk, bukan suara sirene atau waktu imsak.
Kedelapan, apakah gibah dan namimah membatalkan puasa?
Gibah dan namimah tidak membatalkan puasa, namun ia mengurangi pahala puasa atau menghapus pahala puasa.
Kesembilan, jika kita melihat orang yang puasa makan karena lupa, haruskah diingatkan?
Ya, wajib baginya untuk mengingatkannya.[1]
Kesepuluh, bolehkan seorang wanita menggunakan obat untuk menunda haid di bulan Ramadan?
Ya, boleh. Padanya terdapat maslahah yaitu meringankan bebanya karena berpuasa bersama orang-orang, sedangkan mengqadanya sendiri akan terasa berat nantinya.
Kesebelas, berapa kadar hilang akal yang mengharuskan qada?
Siapa yang hilang akalnya seperti pingsan, jika waktunya sedikit seperti sehari, dua hari atau tiga hari paling banyak, maka ia harus mengqadanya. Namun jika lebih dari itu, seperti koma yang lama, tidak wajib baginya mengqadanya.
Kedua belas, apa hukum bagi orang yang sakit dalam jangka waktu yang lama?
Jika dalam prediksi dokter ia tidak akan sembuh maka ia hanya memberikan makan satu orang miskin setiap harinya, namun jika dokter mengatakan ia akan sembuh insyaallah 2 atau 3 tahun kedepan, maka ia harus mengqadanya.
Ketiga belas, bolehkah membatalkan puasa karena sedang ujian?
Tidak boleh membatalkan puasa karena ujian, karena hal itu bukan sebab yang yang membolehkan membatalkan puasa.[2]
Keempat belas, jika tidak ada makanan atau minuman saat berbuka, apa yang mesti dilakukan?
Berbuka disunnahkan dengan kurma, jika tidak ada dengan air, jika tidak ada maka dengan apapun asalkan halal, jika tidak ada juga maka ia harus berniat berbuka.[3]
Kelima belas, apa yang harus dilakukan pekerja berat sepanjang waktu?
Orang yang bekerja berat jika tidak mampu berpuasa karena butuh kekuatan, maka ia makan secukupnya kemudian tetap menahan sisa waktu sampai Magrib dan mengqada hari itu.[4]
Jika ia petani dan tidak mampu mengolah ladang atau sawahnya maka sebaiknya ia mengatur waktu agar pengolahan pertanian itu di selain bulan Ramadan atau ia membayar orang yang kuat dan mampu bekerja saat puasa.[5]
Syaikh Shaleh Al Fauzan hafizhahullah berkata : seorang muslim seharusnya sangat memperhatikan agamanya, terutama 5 rukun Islam. Allah hanya membolehkan orang sakit, musafir, orang tua dan ibu hamil dan menyusui saja untuk tidak berpuasa, sedangkan kerja berat bukanlah suatu uzur. Oleh karena itu hendaklah seorang muslim mengatur waktunya dalam bekerja di bulan Ramadan, seharusnya pekerjaan yang mengikuti puasa, bukan puasa yang tunduk pada pekerjaan”[6]
Salah seorang ustadz kami dan beliau juga dosen kami di mata kuliah kaedah fikih dulunya, beliau berkata dalam ceramahnya tentang persiapan menyambut bulan Ramadan : jangan jual dunia dengan akhirat. Kalau bisa, bagi yang bekerja berat carilah kerja ringan dan bagi perusahaan agar meringankan kerja karyawan. Kalau tidak juga, maka wajib puasa karena setiap orang akan beralasan kerjanya berat dan kapan ia akan puasa, setiap hari ia melakukan pekerjaan yang katanya berat itu. Tetaplah berpuasa saat bekerja, jika nyawanya terancam, maka makanlah.
Keenam belas, apa hukum orang yang meninggal sedangkan ia memiliki hutang puasa?
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Siapa yang meninggal sedangkan ia memiliki hutang puasa, maka ahli warisnya menggantinya berpuasa. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hal ini banyak pendapat ulama, ada yang mengatakan tidak perlu diqada, yang lain mengatakan puasa yang diqada hanya puasa nazar saja, ada pula yang berpendapat yang diqada jika itu puasa wajib, baik puasa nazar atau puasa Ramadan.
Syaikh As Sa’di rahimahullah dan Ibnu Taimiyah rahimahullah memilih pendapat ketiga dan mengatakan wajib bagi manusia untuk membayar hutang, baik hutang pada manusia maupun hutang kepada Allah taala , hutang kepada manusia wajib dibayar oleh keluarga si mayit, terlebih lagi hutang kepada Allah taala, tentu lebih wajib lagi. Namun Syaikh Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah merajihkan bahwa yang tepat adalah jika seorang meninggal sedangkan ia memiliki kewajiban puasa, maka dianjurkan kepada ahli warisnya untuk menqada puasa tersebut. [7]
Ketujuh belas, apa hukum berniat membatalkan puasa?
Jika seseorang sudah berniat membatalkan puasa, maka puasanya batal walaupun ia belum sempat mengkomsumsi apapun dan ia harus mengqadanya.[8]
Kedelapan belas, apa hukum bagi orang yang onani pada bulan Ramadan?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid hafizhahullah menjawab dengan menukil ucapan Syaikh Shalih Al Utsaimin rahimahullah dari “Majalis Syahri Ramadan” beliau berkata “baginya empat hal, pertama puasanya batal, kedua ia wajib menahan sampai terbenam matahari, tiga ia wajib mengqada hari itu, keempat, ia wajib bertobat dari perbuatan hina itu di bulan yang mulia ini.[9]
Kesembilan belas, apakah suatu negara mengikuti negara lain dalam penetapan masuknya bulan Ramadan?
Tidak, setiap negara memiliki rukyahnya sendiri, sehingga jika Arab Saudi sudah berpuasa karena sudah nampak hilal, sedangkan di Indonesia belum nampak, maka mereka belum boleh berpuasa, solusinya sempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini berdasarkan riwayat Kuraib :
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ، بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ، قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ، فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا، وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ، فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ، فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ، وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ: " لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ، فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ، أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ: أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Ummu Fadl binti Al Harits mengutusnya ke Syam menemui Muawiyah, ia berkata : maka aku sampai di Syam dan menyelesaikan urusannya, kemudian Ramadan masuk dan aku masih di Syam, aku melhat hilal pada malam Jumat. Kemudian aku ke Madinah di akhir bulan, Abdullah bin Abbas radhiyallagu anhuma bertanya padaku : kapan kalian melihat hilal? Aku menjawab : kami melihatnya pada malam Jumat, Ibnu Abbas bertaka : apakah kamu melihatnya langsung? Aku menjawab : ya, penduduk Syam juga melihatnya, maka mereka berpuasa, begitu juga dengan Muawiyah. Ibnu Abbas berkata : sedangkan kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami tetap berpuasa sampai Ramadan mencapai 30 hari atau sampai kami melihat hilal. Aku berkata : tidakkah cukup hilal yang dilihat Muawiyah di Syam? Ibnu Abbas menjawab : tidak, inilah yang diajarkan Rasullah shalallahu alaihi wasallam kepada kami. (HR. Muslim)
Kedua puluh, bagaimana cara menetapkan masuknya awal Ramadan, bolehkan dengan hisab?
Penetapan masuknya Ramadan adalah dengan rukyah, bukan dengan hisab. Sedangkan menggunakan alat untuk memudahkan melihat hilal, maka itu dibolehkan. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Puasalah dengan menglihat hilal dan berhari raya dengan hilal pula, jika hilal tidak tampak maka sempurnakan jumlah Sya’ban 30 hari. (HR. Bukhari dan Muslim)
A. Hassan[10] rahimahullah berpandangan boleh menggunakan hisab dalam menentukan masuknya bulan Ramadan, bahkan beliau menyatakan menggunakan hisab “terbukti lebih tepat daripada melihat bulan” kemudian beliau mengemukakan pendapat terhadap ulama yang tidak setuju menggunakan hisab dan berkata “kita menggunakan hisab buat mengetahui tanggal satu, sebagaimana kita, orang anti hisab menggunakan hisab (jam) buat mengetahui fajar dan gurubnya matahari, padahal menurut Albaqarah ayat 187 kita wajib mulai shaum apabila terlihat tanda putih (al khaithul abyadh) dan begitu juga menurut hadis Rasulullah bahwa berbuka shaum adalah apabila ghurub”[11]
Kami sepakat dengan Ahmad Hassan rahimahullah tentang tidak konsistennya orang yang tidak membenarkan penggunaan hisab sebagai metode penentuan masuknya bulan Ramadan, mengapa waktu sahur dan berbuka menggunakan hisab? Mengapa salat 5 kali sehari menggunakan hisab? Padahal Rasulullah –shalallahu alaihi wasalam- telah mengajarkan cara menetapkan waktu masuk salat, yaitu melihat fajar shadiq untuk salat subuh dan ini adalah batas akhir makan sahur, tergelincirnya matahari untuk salat Zuhur, bayang-bayang sepanjang bendanya untuk salat Ashar, terbenamnya matahari untuk salat Magrib dan ini juga waktu berbuka, serta hilangnya mega merah tanda masuknya salat Isya. Bukti ucapan kami ini adalah diterbitkannya kalender Ramadan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta yang telah tertulis padanya jadwal salat 5 waktu dimana dua di antaranya yaitu Subuh dan Magrib adalah waktu sahur dan berbuka, dengan kalender itulah masyarakat berpatokan.
Mereka tidak membenarkan hisab untuk penentuan waktu bulan Ramadan, tapi menggunakan hisab untuk batas sahur dan berbuka serta salat 5 waktu, ini adalah suatu hal yang bertolak belakang, seharusnya mereka konsisten dalam hal ini, jika tidak berada pada satu poros maka dikhawatirkan amalannya tidak sempurna atau tidak sah sebab tidak beramal sesuai ilmu dan keyakinannya. Kita ambil contoh hukum membaca Alfatihah bagi makmum pada salat yang Alfatihah dibaca keras. Ada dua pandangan dalam pembahasan ini, pendapat menyatakan wajib dan pendapat lain yang mengatakan cukup dengan mendengarkan bacaan imam, artinya makmum tidak membaca Alfatihah. Untuk setiap mereka harus konsisten dengan pandangan masing-masing, seandainya orang yang berpemahaman makmum wajib membaca Alfatihah, kemudian pada suatu salat ia tidak membacanya, salatnya tidak sah, mengapa? Karena ia telah meninggalkan rukun. Kalau ia membaca Alfatihah pada salat Magrib, kemudian pada salat Isya dan Subuh tidak membacanya, maka ini adalah bentuk kebodohan dari dirinya. Orang seperti ini serupa dengan mereka yang menolak hisab pada penentuan awal Ramadan tapi menggunakan hisab untuk waktu salat, termasuk di dalamnya waktu makan sahur dan berbuka.
Di Indonesia tidak jarang terjadi perselisihan dalam menentukan awal Ramadan dan hari raya antara Kementerian Agama dan salah satu ormas besar Islam, manakah yang mesti diikuti? Jawabannya, mengikuti pemerintah lebih utama dengan dua alasan, pertama patuh dan taat pada pemerintah itu wajib selagi tidak melanggar syariat, kedua menetapkan awal Ramadan dengan rukyah adalah metodenya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para salafus shalih dalam menentukan awal Ramadan. Namun bagi orang yang berkeyakinan hisab sebagai cara menentukannya, maka tidak masalah mengikuti penetapanya dengan hisab, karena sampai disanalah pemahamannya. Sebab rambut boleh sama hitam, isi kepala bermacam warnanya, walaupun hujjahnya sama, hasilnya bisa saja berbeda dan setiap pihak tidak bisa memaksakan kehendaknya.
Tim Ulama dan Pakar dalam ‘ahkam tahummul muslim’ menyatakan : masuknya bulan Ramadan dapat diketahui dengan salah satu dari dua cara :
Pertama, Terlihatnya hilal bulan Ramadan dengan kesaksian seorang muslim yang adil dan mukallaf, walaupun seorang wanita.
Kedua, Menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari, jika hilal tidak terlihat.[12]
Kami tegaskan kembali bahwa rukyah lebih tepat, karena Nabi shalallahu alaihi wasallam sudah menyebutkan jika hilal tidak tampak sempurnakanlah jumlah Sya’ban 30 hari dan penghitungan 30 hari inilah hisab yang benar, wallahu a’lam.
[1] Soal 1-9 dari kitab 48 Sualan Fis Shiyam, dengan tambahan seperlunya.
[2] Soal 10-13 dari Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah Fi Masailil I’badat Wal Mua’malat Min Fatawa Samahatil A’lamah Al Imam Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz/Kitabus Shiyam.
[3] Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin/Nubzun Fishiyam/ Nomor 8.
[4] Lajnah Daimah/Al Majmua’h Al Ula/Fatwa Nomor 4157.
[5] Lajnah Daimah/Al Majmua’h Al Ula/Fatwa Nomor 3818.
[6] Syaikh Shalih Al Fauzan/Majmuah Fatawa Fadhilatis Syaikh Shalih Al Fauzan/Al Amal As Syaq La Yubihu Al Fithr Fi Ramadhan.
[7] Syaikh Abdullah Bin AbdurrAaman Alu Bassam/ Taisirul Allam Syarhu Umdatil Ahkam/Kitbus Shaum/Hadist 187.
[8] Lajnah Daimah/Al Majmua’h Al Ula/Fatwa Nomor 20069.
[9] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Munajjid/Al A’dah As Sayyiah Wa Kaifa Tatakhalash Minha/Asilah Fiqhiyah, Soal Nomor 7.
[10]A. Hassan/ Tarjamah Bulugul Maram, Terjemahan Beserta Keterangannya /Kitab Shaum/Keterangan Hadist 671-672.
[12] Tim Ulama Dan Pakar/Hukum-Hukum Penting Bagi Setiap Muslim/Puasa Ramadan.
Komentar
Posting Komentar