Langsung ke konten utama

Pembatal puasa

 


Mengetahui pembatal puasa artinya mengetahui rukun kedua dalam berpuasa, karena rukun puasa kedua adalah menahan diri dari hal yang membatalkan puasa,  mari kita pahami dengan benar agar puasa kita diterima. Pembatal puasa dalam Alquran ada tiga, yaitu makan, minum dan  berhubungan badan. Berdasarkan firman Allah taala :

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَٱشْرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلأسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ

Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kalian, mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalianpun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kalian  tidak dapat menahan diri, karena itu Allah mengampuni kalian  dan memamaafkan kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, serta makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Qs. Al-Baqarah: 187).

Pertama dan kedua, makan dan minum.

Pembatal pertama dan kedua adalah makan dan minum, merokok termasuk ke dalam bab ini, utuk hal ini semua kita sudah mengetahui dan memahaminya dengan baik insyaallah.

Ketiga hubungan suami istri.

Ini merupakan pembatal paling berat karena bagi yang berjima di siang hari pada bulan Ramadan ia wajib membebaskan budak atau puasa dua bulan berturut-turut jika tidak mampu. Berdasarkan riwayat Abu Hurairah rhadhiyallahu anhu :

 

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ. قَالَ: مَا لَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟ قَالَ: لاَ، قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، قَالَ: لاَ، فَقَالَ: فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا. قَالَ: لاَ، قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ - وَالعَرَقُ المِكْتَلُ - قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ؟ فَقَالَ: أَنَا، قَالَ: خُذْهَا، فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا - يُرِيدُ الحَرَّتَيْنِ - أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

Suatu hari kami duduk-duduk bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam, kemudian datanglah seorang laki-laki menghadap beliau. Lalu laki-laki tersebut mengatakan : wahai Rasulullah  celakalah aku. Nabi berkata : apa yang terjadi padamu? laki-laki tadi  menjawab : aku telah menyetubuhi istriku, padahal aku sedang puasa. Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bertanya : apakah kamu memiliki seorang budak yang dapat kamu merdekakan? Laki-laki tadi menjawab : tidak. Lantas Nabi bertanya lagi : apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Laki-laki tadi menjawab : tidak.  Nabi bertanya lagi : apakah kamu dapat memberi makan 60 orang miskin? laki-laki tadi juga menjawab : tidak. Abu Hurairah berkata, Nabi shalallahu alaihi wasallam kemudian diam. Saat kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam. Kemudian beliau  bertanya : dimana orang yang bertanya tadi? laki-laki tersebut menjawab : saya. Kemudian beliau mengatakan : ambillah ini dan bersedakahlah dengannya. Kemudian laki-laki tadi mengatakan : apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. Nabi shalallahu alaihi wasallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau berkata : berilah makanan tersebut pada keluargamu. (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Keempat, onani.

Onani atau sengaja mengeluarkan mani dengan cara lain seperti mani keluar karena bercumbu dengan istri,  karena terangsang oleh film porno atau mengeluarkan mani dengan alat seks. Puasa batal bukan karena mani keluar tapi karena proses keluarnya disengaja, hal ini sama dengan jimak antara suami istri, keluarnya sama-sama sadar, namun sarana yang digunakan berbeda. Oleh sebab itu mani yang keluar karena mimpi tidak membatalkan puasa, sebab keluarnya tidak disengaja.

 

Kelima, memasang infus.

Memasang infus atau semisalnya untuk menyuplai makanan pada tubuh, perbuatan ini dihukumi dengan makan dan minum karna memiliki fungsi yang sama.

 

 

Keenam, muntah dengan sengaja.

Berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam  :

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

Siapa yang  muntah dan dia sedang berpuasa, maka tidak ada qada baginya. Namun apabila dia sengaja muntah, maka wajib baginya mengqada hari itu. (HR. An Nasai)

Ketujuh, haid dan nifas bagi wanita.

Keluarnya darah haid atau nifas bagi wanita,  jika ia keluar maka secara otomatis puasanya batal dan ia harus mengqadanya di waktu yang lain.

 

 

Syarat batalnya puasa karena pembatalnya

 

Pembatal-pembatal di atas tidak sah kecuali jika terpenuhi 3 syarat[1] :

 

Pertama, mengetahui hukumnya.

Apabila ada yang melakukan pembatal puasa seperti makan atau minum karena tidak tahu hukumnya, maka puasanya sah.

 

Kedua, ia ingat kalau ia sedang puasa.

Jika ia melakukan pembatal puasa karena lupa maka puasanya sah, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

 

إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

Jika seseorang lupa sehingga ia makan dan minum, maka ia sempurnakan puasanya, karena Allah telah memberinya makan dan minum. (HR. Muslim)

 

Jika ia ingat setelah selesai makan, maka itu adalah makan yang Allah taala berikan untuknya. Seandainya ia ingat atau diingatkan saat ia sedang makan, maka ia harus berhenti saat itu juga dan melanjutkan puasanya. Termasuk dalam hal ini jika seseorang berhubungan suami istri dalam kedaan lupa di siang hari, maka puasanya sah.

 

Ketiga, atas kemauan sendiri.

Jika ia melakukan pembatal puasa bukan karena keinginannya atau terpaksa maka puasanya sah. Berdasarkan firman Allah taala :

مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ

Siapa yang kafir setelah beriman kecuali yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan imannya. (Qs. An Nahl : 106)

Kalau ada diantara umat Islam yang dipaksa untuk makan di siang hari Ramadan, sedangkan ia membenci perbuatan itu, namun karena keselamatannya terancam, dengan berat hati iapun makan, sedangkan jiwanya menolak dengan keras perbuatan itu, maka ia lanjutkan puasanya sampai Magrib, karena Allah taala memaafkan kesalahan yang dilakukan karena terpaksa.



[1] Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin /48 Sualan Fis Shiyam/Sual 1

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajib Diketahui Oleh Pecinta Sepak Bola...

Ada apa dengan kostum sepak bola? Sepak bola merupakan olah raga yang paling banyak penggemarnya, setiap penggemar memiliki klub dan pemain faforit. Terkadang semua aksesoris yang bertuliskan nama dan gambar klub atau pemain idolapun menjadi koleksi wajib bagi para pecinta sepak bola. Nah, bagaimana bila kita sebagai seorang muslim menjadi penggemar klub  atau pemain yang kafir kemudian membeli pernak-pernik yang berkaitan dengan mereka terutama kostum yang mengandung unsur atau lambang agama dan keyakinan mereka seperti lambang salib dan setan merah? Jika kita perhatikan terdapat beberapa kostum tim sepak bola yang mengandung unsur salib seperti Barcelona, AC Milan, Timnas Brazil, Timnas Portugal, Intermilan, sedangkan lambang setan terdapat pada  MU.  Meskipun begitu masih banyak kaum muslimin yang tidak memperdulikan hal ini khususnya Indonesia. Berbeda dengan dua Negara bagian Malaysia beberapa tahun yang lalu telah melarang hal ini. Dewan Keagamaan Johor d

Mengisi Ramadan dengan nasyid

  Dalam KBBI nasyid diartikan sebagai lagu yang mengandung unsur keislaman, sedangkan dalam kamus “ Lisanul Arab ” nasyid artinya menyanyikan syair. Dari dua pengertian ini dapat kita pahami bahwa nasyid adalah lagu atau nyanyian. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Hakim hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya bahwa nasyid yang sekarang itu adalah nyanyian, bukan seperti yang dibaca oleh para sahabat saat menggali parit atau saat perang, yang mereka baca adalah syair.     Kita sama-sama tahu bahwa membaca syair oleh orang arab memiliki cara tersendiri, jika dicari persamaannya di Indonesia maka membaca syair serupa dengan membaca pantun atau puisi. Apakah membaca puisi atau pantun sama dengan cara menyanyikan nasyid atau kasidah itu? Jawabnya jelas tidak sama. Lalu apa hukum menyanyikan nasyid? Syaikh Shaleh Al Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video tanya jawab menyebutkan “kami tidak menemukan pensyariatannya, jika nasyid tersebut tidak disandarkan

Kita pasti berpisah, semoga esok kembali berkumpul

Dalam menjalani kehidupan ini terkadang kita harus pergi, pergi jauh dari kampung halaman. Banyak tujuan yang kita bawa, ada yang menuntut ilmu, ada yang mencari nafkah dan tujuan lainnya. Walau apapun tujuannya, ke manapun perginya, pasti ia merindui kampung halamannya, pasti ia merindukan orang-orang yang disayangi, ingin kembali berkumpul dengan keluarga, sebab di sana ada kebahagiaan. Keindahan dan kedamaian itu ada di kampung halaman, ketika hati gelisah maka pulanglah, ada orang tua di sana, ada sanak saudara, ada sawah yang berjenjang dilengkapi burung-burung yang berbondong, ada sungai  beserta suara gemerciknya dan bebukitan dengan pohong-pohon yang menghijau. Indah dan damai.   Kita pasti kembali   Ibnu Umar  rhadiyallahu anhuma   berkata bahwa Rasulullah  shalallahu alaihi wasallam   bersabda :   كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاء