Langsung ke konten utama

 

Pembahasan wanita hamil dan menyusui yang tidak puasa di bulan Ramadan sering ditanyakan,  apakah wanita hamil dan menyusui yang tidak puasa mengqada atau membayar fidyah?

 


 

Kami berikan penjelasan secara ringkas, semoga dapat menjawab pertanyaan tersebut.

 

Banyak pendapat dalam hal ini :

Pendapat pertama, wajib bayar fidyah saja

Pendapat kedua,  wajib qada saja

Pendapat ketiga,  bayar fidyah jika khawatir atas keselamatan janin dan qada jika khawatir atas keselamatan dirinya (ibu). Bayar fidyah dan qada jika khawatir atas keselamatan keduanya.

Yang  paling  benar adalah mengqadanya saja, seperti apapun keadaannya. Berdasarkan hadis Nabi shalallahu alaihi wasallam yang artinya “Allah mengugurkan kewajiban salat (yang empat rakaat) bagi musafir dan puasa, dan menggugurkan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan menyusui” (HR. Tirmizi, An Annasai dan Ibnu Majah). Maka semua yang disebutkan itu memiliki satu hukum yaitu mengqada, sebagaimana musafir mengqada salatnya maka begitu pulalah ibu hamil dan menyusui.[1] Syaikh Ibn baz menyatakan : inilah yang paling benar dari pendapat ulama dalam permasalahan ibu hamil dan menyusui.[2]

Kemudian kami sampaikan bahwa setiap orang muslim  yang memenuhi syarat untuk puasa, wajib melaksanakan puasa Ramadan, apabila datang halangan atau sebab yang membolehkannya tidak puasa maka ia membatalkan puasanya, namun setelah sebab itu hilang, ia harus menunaikan kewajibannya, karena puasa adalah kewajiban yang mesti ditunaikan bagi yang mampu dan ibu hamil dan menyusui jika anaknya sudah besar atau tidak hamil dan tidak menyusui lagi, ia akan mampu bepuasa, sedangkan bayar fidyah khusus bagi siapa saja yang tidak mampu berpuasa lagi, ini adalah cara yang Allah taala berikan bagi mereka untuk menunaikan kewajiban itu.

 

Lalu apa yang harus dilakukan wanita yang hamil dan menyusui selama 3 tahun berturut-turut?

Wanita yang hamil di bulan Ramadan jika membahayakan atau khawatir akan membahayakan dirinya atau janinnya maka boleh tidak puasa dan mencoba semampunya untuk mengqadanya, jika ternyata tahun depan ia menyusui kemudian tahun depannya dia hamil lagi, maka total hutangnya adalah 3 kali Ramadan, maka saat itu boleh baginya untuk membayar fidyah atas puasa yang terlewatkan itu.[3]

 

Yang tidak kalah pentig menjadi pertanyaan masyarakat adalah tentang fidyah, bagaimana cara pembayaran fidyah dan bolehkan membayarnya dengan uang?

 


Syaikh Al Utsaimin rahimahullah berkata : cara atau bentuk pembayaran fidyah ada dua :

Pertama, menyiapkan makanan  yang sudah dimasak, kemudian mengundang orang miskin untuk makan,  sesuai jumlah hari yang ditinggalkan. Hal inilah yang dilakukan Anas bin Malik ketika ia lansia.

Kedua, memberi orang miskin makanan mentah, yaitu memberikan makanan pokok sebanyak satu mud untuk gandum dan setengah sha’ untuk selainnya. Satu mud ukurannya seperempat sha’,  bahan mentah ini harus diikuti dengan lauknya, sebab fidyah adalah memberi makan. Sedangkan waktunya, boleh diberikan langsung hari saat ia tidak berpuasa dan boleh juga diakhirkan.[4]

Dari penjelasan di atas kita pahami bahwa fidyah bisa dibayar dengan makanan siap, kita masak di rumah kemudian diundang orang yang akan kita beri makan atau dibawa ke rumahnya, bisa juga kita belikan nasi bungkus. Cara kedua adalah dengan  bahan mentah makanan pokok kita yaitu beras, ia dibayar setengah sha’, di Indonesia satu sha’ jika ditimbang adalah sekitar 2.5 Kg, maka setengah sha’ adalah 1.25 Kg beras atau boleh juga digenapkan menjadi 1.5 Kg. Namun yang diberikan bukan hanya beras, tapi bersama dengan lauknya.

Sedangkan waktu pembayarannya boleh langsung hari yang ditinggalkannya atau besoknya dan boleh diundur, tapi yang terbaik tetap disegerakan. Syaikh Ibn Baz rahimahullah berkata : boleh memberikan makan pada awal bulan Ramadan, pertengahan bulan atau diakhir bulan. Boleh juga fidyah satu bulan itu untuk satu orang miskin saja.[5]

Boleh sekali waktu untuk jumlah hari yang ditinggalkan, misalnya puasa yang ditinggalkan 30 hari, maka dibuat masakan dan diberikan ke tiga puluh orang miskin dalam satu waktu. Boleh juga sekali dalam sehari, ini sesuai kemampuan kita, sebab ada kalanya kita tidak bisa langsung membayar banyak karena kendala dana, maka dicicil sekali sehari.

Apakah fidyah dibayar untuk sekali makan atau untuk makan sehari?

Kalau di Indonesia makan kita 3 kali dalam sehari atau saat berpuasa 2 kali. Pertanyaan di atas kami sampaikan ke Syaikh Abdurrahman Al Musyaiqih hafizhahullah dan beliau menjawab hanya untuk sekali makan, bukan untuk makan sehari. Kalau ada yang mengatakan : orang puasa makan 2 kali, sahur dan bebuka, mengapa tidak disamakan dengan jumlah makan itu? Kita jawab : pembayaran fidyah bukan dilihat berapa kali kita makan, tapi pada pemberian dan jumlah puasa yang ditinggalkan. Allah taala menyatakan ‘thaamu miskin’ yaitu memberikan seorang miskin. Bukan memberi makan sehari orang miskin, tapi kalau mau dilebihkan boleh, selebihnya menjadi sedekah.

Bolehkah membayar fidyah dengan uang seharga makanan?

Sebagian besar ulama tidak membenarkannya, karena Allah taala berfirman :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan bagi mereka yang tidak sanggup berpuasa maka membayar  fidyah yaitu  memberikan makan seorang miskin. (Qs. Al Baqarah : 184)

Dalam ayat di atas Allah taala memerintahkan kita membayar fidyah dengan memberi makan, bukan uang atau selainnya.

Jika ada yang berkata : kalau yang diberi uang lebih memudahkan yang membayar fidyah dan yang menerima bisa memenuhi kebutuhannya, mungkin saja ia tidak butuh makanan, tapi butuh pakaian.

Maka kita jawab : 

Pertama, memberi makan tidak sulit, ia sangat mudah, berikan makanan yang kita makan. Seandainyapun ada bentuk kesusahan di dalamnya, bagi hati yang tunduk terhadap perintah Allah taala dan rasul-Nya akan terasa mudah, ini prinsip bagi orang mukmin yang dalam hatinya sami’na wa atha’na.

Kedua, ketika yang diserahkan adalah uang dan si penerima membelikannya ke selain makanan, maka tidak tercapai tujuan dari perintah Allah taala yaitu memberi makan. Kalaulah ia butuh pakaian atau yang lainnya, tentu jalan terbaik adalah berikan ia sedekah dalam bentuk uang. Coba bayangkan betapa terbantunya orang miskin itu, makan ia dapatkan dan uang juga ia dapatkan.

Ketiga, kalaulah membayar fidyah atau zakat fitri boleh atau lebih baik dengan uang, tentu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat telah melakukannya, sebab di zaman mereka uang juga ada, oleh sebab itu tidak sah bayar fidyah atau zakat fitri dengan uang, perintah dari Allah dan rasul-Nya dan prakteknya oleh para sahabat adalah dengan makanan atau bahan makan pokok. Kalau dibayar dengan uang, maka ada dua kekeliruan di dalamnya, yaitu melanggar perintah Allah taala dan menyelisihi contoh dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat beliau.

Keempat, dengan perintah memberi makan itu, bertambah kuat keyakinan kita bahwa yang diberikan fidyah adalah orang miskin, bukan orang cacat atau anak yatim, karena ada orang cacat dan anak yatim yang kaya. Orang kaya tidak perlu diberi makan, yang harus diberi makan orang miskin yang kelaparan, orang miskin yang tidak tahu apa yang akan dimakannya hari ini, apalagi untuk besok. Kalau tidak kita temui orang miskin yang seperti ini, kita pilih orang yang paling rendah kemampuannya dalam segi ekonomi, semoga Allah taala menerima fidyah kita.

 

Wallahu a’lam



[1] Al Wajiz/ Shaumul Hamil Wal Murdhi

[2] Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah Fi Masailil I’badat Wal Mua’malat Min Fatawa Samahatil A’lamah Al Imam Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz/Kitabus Shiyam/ Man Yajibu Alaihis Shaum Wal A’zar Almubihah Lil Fithr

[3] Dr. Raehanul Bahraen/ Fiqih Kontemporer Kesehatan Wanita/Puasa Dan Ramadahan/Puasa Bagi Ibu Hamil Dan Menyusui.

[4] Syaikh Shalih Al Utsaimin/As Syarhul Mumti’ A’la Zadil Mustaqni’/ Kitabus Shiyam/ Ma Yalzamu As Shaumu Likulli Mukallafin Qadirin.

[5] Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah Fi Masailil I’badat Wal Mua’malat Min Fatawa Samahatil A’lamah Al Imam Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz/Kitabus Shiyam/Man Yajibu Alaihis Shaum Wal A’zar Almubihah Lil Fithr.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajib Diketahui Oleh Pecinta Sepak Bola...

Ada apa dengan kostum sepak bola? Sepak bola merupakan olah raga yang paling banyak penggemarnya, setiap penggemar memiliki klub dan pemain faforit. Terkadang semua aksesoris yang bertuliskan nama dan gambar klub atau pemain idolapun menjadi koleksi wajib bagi para pecinta sepak bola. Nah, bagaimana bila kita sebagai seorang muslim menjadi penggemar klub  atau pemain yang kafir kemudian membeli pernak-pernik yang berkaitan dengan mereka terutama kostum yang mengandung unsur atau lambang agama dan keyakinan mereka seperti lambang salib dan setan merah? Jika kita perhatikan terdapat beberapa kostum tim sepak bola yang mengandung unsur salib seperti Barcelona, AC Milan, Timnas Brazil, Timnas Portugal, Intermilan, sedangkan lambang setan terdapat pada  MU.  Meskipun begitu masih banyak kaum muslimin yang tidak memperdulikan hal ini khususnya Indonesia. Berbeda dengan dua Negara bagian Malaysia beberapa tahun yang lalu telah melarang hal ini. Dewan Keagamaan Johor d

Mengisi Ramadan dengan nasyid

  Dalam KBBI nasyid diartikan sebagai lagu yang mengandung unsur keislaman, sedangkan dalam kamus “ Lisanul Arab ” nasyid artinya menyanyikan syair. Dari dua pengertian ini dapat kita pahami bahwa nasyid adalah lagu atau nyanyian. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Hakim hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya bahwa nasyid yang sekarang itu adalah nyanyian, bukan seperti yang dibaca oleh para sahabat saat menggali parit atau saat perang, yang mereka baca adalah syair.     Kita sama-sama tahu bahwa membaca syair oleh orang arab memiliki cara tersendiri, jika dicari persamaannya di Indonesia maka membaca syair serupa dengan membaca pantun atau puisi. Apakah membaca puisi atau pantun sama dengan cara menyanyikan nasyid atau kasidah itu? Jawabnya jelas tidak sama. Lalu apa hukum menyanyikan nasyid? Syaikh Shaleh Al Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video tanya jawab menyebutkan “kami tidak menemukan pensyariatannya, jika nasyid tersebut tidak disandarkan

Kita pasti berpisah, semoga esok kembali berkumpul

Dalam menjalani kehidupan ini terkadang kita harus pergi, pergi jauh dari kampung halaman. Banyak tujuan yang kita bawa, ada yang menuntut ilmu, ada yang mencari nafkah dan tujuan lainnya. Walau apapun tujuannya, ke manapun perginya, pasti ia merindui kampung halamannya, pasti ia merindukan orang-orang yang disayangi, ingin kembali berkumpul dengan keluarga, sebab di sana ada kebahagiaan. Keindahan dan kedamaian itu ada di kampung halaman, ketika hati gelisah maka pulanglah, ada orang tua di sana, ada sanak saudara, ada sawah yang berjenjang dilengkapi burung-burung yang berbondong, ada sungai  beserta suara gemerciknya dan bebukitan dengan pohong-pohon yang menghijau. Indah dan damai.   Kita pasti kembali   Ibnu Umar  rhadiyallahu anhuma   berkata bahwa Rasulullah  shalallahu alaihi wasallam   bersabda :   كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاء