Pertama, berjunub pada pagi hari.
Siapa yang mimpi basah pada malam hari atau ia berhubungan dengan istrinya di malam hari, kemudian belum mandi sampai masuk waktu subuh, maka puasanya sah. Berdasarkan hadis Aisyah rhadhiyallahu anha :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah mendapati waktu subuh sedangkan ia dalam keadaan junub karna berhubungan dengan istrinya, kemudian ia mandi dan melanjutkan puasanya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Salah seorang teman kami mengatakan bahwa dulu ia tergesa-gesa untuk mandi wajib ketika azan subuh dikumandangkan pada bulan Ramadan, karena ia menyangka puasa tidak sah apabila ia tidak suci, padahal suci bukanlah rukun atau syarat dari puasa. Dari sini dapat kita lihat pentingnya ilmu dalam beramal, tidak ada ilmu dapat menyusahkan kita, karena agama itu mudah.
Kedua, mencium istri dan bercumbu dengannya, jika terjaga dari keluarnya mani.
Berdasarkan hadis Aisyah rhadhiyallahu anha :
كان رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وهُو صَائِمٌ وَيُباشِر وَهُو صَائِمٌ ولَكِنَّه كَان أَملَكَكُم لإرْبِه
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mencium istrinya dan bercumbu dengannya, sedangkan ia berpuasa,namun beliau adalah orang yang paling bisa menahan dirinya diantara kalian. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kata “yubasyiru” (bercumbu) pergaulan yang sangat intim, saling sentuh menyentuh. Kata “mubasyarah” itu juga bisa berarti bersetubuh, tapi disini bukan dengan pengertian itu. Beliau bercumbu dengan istrinya dalam keadaan beliau berpuasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan hawa nafsunya di antara kalian. Kata “irbuhu” berarti kebutuhan nafsu dan dorongannya.[1]
Mahmud Mahdi Al Istambuli hafizhahullah memberikan peringatan kepada lelaki yang bermasalah jika ia mencium istrinya : bagi para suami yang tidak mampu menguasai diri diharapkan untuk berhati-hati, karena jika ciuman itu berlanjut kepada menyetubuhi, puasanya batal dan wajib mebayar kafarat. Suami yang tidak mampu menguasai diri lebih baik tidak mencium istrinya saat puasa.[2]
Ketiga, mandi dan membasahi kepala untuk mendinginkan tubuh.
Berdasarkan hadis dari salah seorang sahabat Nabi shalallahu alaihi wasallam :
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ أَوْ مِنَ الْحَرِّ
Aku melihat Nabi shalallahu alaihi wasallam dibasahi kepalanya karena panas atau haus dan beliau sedang puasa. (HR. Abu Daud)
Dulu saat kami masih kanak-kanak kami diajarkan untuk berlama-lama mandi di sungai dalam waku saat puasa, karena dapat mebatalkan puasa dengan masuknya air ke dalam tubuh mealui pori-pori kulit, padahal semua itu hanya kira-kira semata dari mereka dan kami melakukan itu atas kebodohan kami, sekali lagi kita memahami pentingnya ilmu dalam beragama.
Keempat, kumur-kumur dan istinsyaq atau memasukkan air ke dalam hidung.
Berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam :
وَبَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
Berintinsyaqlah dengan sungguh-sungguh, kecuali jika kamu sedang puasa. (HR. HR. Abu Daud, Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah)
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkan kita beristinyaq atau memasukkan air ke dalam hidung dengan sungguh-sungguh agar kita tidak bermudah-mudah, mungkin karena sebagian kita tidak bersunguh-sungguh memasukkan air ke dalam hidung karena ada rasa sakit, padahal yang sakit itulah perintah Nabi shalallahu alaihi wasallam . Namun saat puasa kita tidak boleh melakukan itu, sebab dapat membawa air masuk ke kerongkongan.
Kelima, mencicipi makanan jika dibutuhkan, selagi tidak sampai ke kerongkongan.
Berdasarkan riwayat Ibnu Abbas rhadiyallahu anhuma :
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الخَلَّ أَوْ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
Tidak masalah bagi orang puasa mencicipi cuka atau hal lain selagi tidak sampai ke tenggorokan. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan terdapat penguat dalam riwayat Bukhari secara muallaq)
Keenam, berbekam dan donor darah, jika tidak membahayakan.
Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu pendapat yang menyatakan batal dan pendapat yang menyatakan tidak batal. Yang menyatakan batal berdalil dengan hadis :
وَيُرْوَى عَنِ الْحَسَنِ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مَرْفُوعًا فَقَالَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
Dari Al Hasan dari beberapa sahabat secara marfu : puasa orang yang membekam dan dibekam batal. (HR. Tirmizi dan Abu Daud).
Sedangkan yang mengatakan tidak batal berdalil dengan hadis :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ ، وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ
Dari Ibnu Abbas rhadiyallahu anhuma bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam pernah berbekam, sedangkan ia sedang puasa. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi)
Pandangan yang lebih tepat insyaallah adalah pendapat jumhur, yaitu berbekam atau donor darah tidak membatalkan puasa, namun ia makruh jika menjadi penyebab lemahnya tubuh. Mengapa tidak membatalkan? Karena yang membatalkan puasa induknya adalah makan dan minum atau yang serupa dengan makan dan minum, artinya segala sesuatu yang masuk ke dalam tubuh, sedangkan berbekam atau donor darah kebalikannya, yaitu mengeluarkan. Induk pembatal kedua adalah jima’ dan disamakan dengannya mengeluarkan mani dengan sengaja, hanya ini saja pembatal puasa dalam bentuk mengeluarkan.
Ketujuh, memakai celak, disuntik, pakai obat tetes dan mencium aroma wewangian.
Semua hal di atas tidak membatalkan puasa, karena tidak terdapat dalil yang sah dijadikan hukum sebagai larangan atau pembatal bagi orang yang puasa.
Kedelapan, bersiwak atau gosok gigi.
Ulama fikih sepakat bahwa bersiwak tidak membatalkan puasa, dalam hal ini sebagian mereka mengatakan makruh untuk bersiwak setelah tergelincir matahari, namun yang benar adalah bersiwak dianjurkan di setiap waktu.
Dari Abdillah bin Amir bin Rabiah rhadhiyallahu anhu, beliau berkata :
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ
Aku melihat Nabi shalallahu alaihi wasallam bersiwak dan beliau sedang berpuasa. (HR. Tirmidzi dan Bukhari secara Muallaq)
Imam Tirmidzi rahimahullah mengomentari hadis ini derajatnya hasan dan para ulama mengamalkan hadis ini, artinya tidak ada masalah bersiwak saat berpuasa.[3]
Kesembilan, menelan ludah atau dahak.
Menelan ludah tidak dianggap menelan makanan, karena ia adalah bagian dari tubuh dan susah untuk dihindari, begitu juga dengan dahak.
Kesepuluh, tertelan hal-hal yang sulit untuk dihindari.
Jika tertelan sesuatu seperti sisa makanan di di gigi atau darah pada gusi atau benda kecil yang masuk ke mulut hingga kerongkongan tanpa sengaja dan susah menghindarinya, maka hal itu tidak mengapa.
Kesebelas, makan atau minum atau jima karena lupa.
Melakukan pembatal puasa karena lupa tidak mengapa, artinya tidak membatalkan puasa, karena syarat batalnya puasa adalah dilakukan dengan kesadaran.
Kedua belas, muntah yang tidak disengaja.[4][5]
Dulu kami beranggapan muntah karena mabuk perjalanan membatalkan puasa, ini karena keterbatasan ilmu yang kami miliki, sehingga sesampainya di rumah kami minum, padahal waktu berbuka hanya tinggal sekitar dua puluh menit lagi.
Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
Siapa yang muntah dan dia sedang berpuasa, maka tidak ada qada baginya. Namun apabila dia sengaja muntah, maka wajib baginya mengqada hari itu. (HR. An Nasai)
Ketiga belas, hal lain yang tidak membatalkan puasa.
Syaikh Nayif Al Qafary hafizhahullah menukilkan keputusan Majma’ Fikih Islamy tentang beberapa hal yang tidak membatalkan puasa, yaitu :
1. Tetes mata atau tetes telinga atau tetes hidung, selagi bisa menghindarinya agar tidak tertelan.
2. Memasukkan sesuatu ke dalam pintu kemaluan seperti obat perangsang, teleskop atau jari untuk keperluan pengobatan dan semisalnya.
3. Cabut gigi.
4. Kumur-kumur atau memakai obat yang diletakkan dibawah mulut selagi tidak sampai ke tenggorokan.
5. Menusukkan jarum pada kulit, kecuali jarum untuk asupan makanan seperti jarum infus.
6. Memasukkan bius ke dalam tubuh.
Dan beberapa hal lain dengan permasalahan yang hampir serupa dengan poin-poin di atas, intinya memasukkan sesuatu ke dalam tubuh yang tidak memberikan asupan makanan maka ia tidak membatalkan puasa. Dan diharapkan kepada para dokter untuk menasehati pasiennya agar menunda proses pengobatan sampai selesai berbuka, supaya tidak membahayakannya.[6]
[1] Drs. Abu Bakar Muhammad/Terjemahan Subulussalam/Kitab Puasa/ Hal-Hal Yang Harus Dijauhi Selama Puasa.
[2] Mahmud Mahdi Al Istambuli /Bekal Pengantin/Seni Bercumbu/Ciuman Hangat Dan Menyentuh Meskipun Sedang Puasa.
[3] Sunan Tirmidzi/Kitab As Ahaum/ Ma Jaa Fis Siwak Lis Shaim
[4] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim/Shahih Fiqhis Sunnah/Sunanus Shaum Wa Adabuhu-Umurun La Tufsidus Shiyam”
[5] Dua Pembahasan Di atas Yaitu Sunnah Puasa Dan Hal Yang Tidak Membatalkan Puasa Kami Kutip Dari Kitab “Shahih Fikih Sunnah” Dengan Perubahan Dan Tambahan Beberapa Penjelasan.
[6] Nayif Bin Ali Bin Abdillah Al Qafary/Tasyniful Asma’ Syarhu Mukhtashar Aby Syuja’/Kitab Ahkumis Shiyam.
Komentar
Posting Komentar