Langsung ke konten utama

Penjelasan ringan tentang hadis sahih dan hadis dhaif

 

Mari kita pahami dua referensi dasar pengambilan hukum dalam Islam, kita ketahui tingkat pengambilannya sebagai dalil.



Pertama, Alquran. Alquran wajib kita yakini seluruhnya adalah firman Allah taala dan ia pasti benar, siapa yang meragukannya walau hanya setitik maka ia terancam jatuh kepada kufur besar.

Kedua, hadis. Hadis memiliki beberapa tingkatan dalam meyakininya dari Nabi shalallahu alaihi wasallam shalallahu alaihi wasalam, yaitu :

1. Hadis sahih.

 Hadis sahih adalah hadis paling tinggi derajatnya, ia diyakini sepenuhnya dari Nabi shalallahu alaihi wasallam  cara mudah mengetahui hadis shahih adalah dengan mengetahui kitabnya, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Syaikh Shalih Al Utsaimin rahimahullah menyebutkan bahwa syarat hadis sahih ada lima yaitu, diriwayatkan oleh perawi yang adil, hafalannya sempurna, sanad hadisnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat perawi yang lebih kuat darinya dan terbebas dari cacat berat.[1]

Sebelum memahami penjelasan dari lima syarat di atas, mari kita kenal terlebih dahulu beberapa gambaran periwayatan hadis :

Kita mengetahui sebuah hadis yang terkenal yaitu hadis niat, hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dan Imam Muslim  rahimahullah serta ulama hadis yang lainnya. Kita ambil jalan periwayatan dari Imam Bukhari rahimahullah beliau adalah ulama yang membukukan hadis, karena hadis tersebut dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam maka tentu ada perantara antara Imam Bukhari rahimahullah dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.

Imam Bukhari berkata : telah berkata kepada kami (1) Alhumaidy bin Abdillah bin Az Zubair, ia berkata telah berkata kepada kami (2) Sufyan, ia berkata : telah berkata kepada kami (3) Yahya bin Said Al Anshary, ia berkata : telah menyampaikan kepadaku (4) Muhammad bin Ibrahim At Taimy bahwa ia mendengar (5) Alqamah bin Waqqash Al Alaisy berkata : aku mendenagr (6) Umar bin Khattab berkata di atas mimbar : aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : sesungguhnya amalan dibalas berdasarkan niatnya....

Dari gambaran di atas kita dapat beberapa istilah :

Pertama, sanad.  Sanad adalah semua orang yang membawakan hadis, mulai dari Imam Bukhari sampai ke Rasulullah shalallahu alaihi wasallam disebut dengan sanad hadis, pada contoh hadis diatas kami telah memberi nomor para perawi.

Kedua, perawi. Perawi adalah setiap orang dari sanad adalah perawi. Alhumaidy rahimahullah adalah perawi, Sufyan rahimahullah adalah perawi, begitu seterusnya. Mereka semua dinamai perawi hadis.

Ketiga, matan. Ucapan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam “sesunguhnya amalan tergantung niatnya” adalah matan hadis.

Sekarang kita kembali ke syarat hadis sahih, kita akan jelaskan secara ringkas satu persatu :

Pertama , Perawi adalah orang yang adil.

Orang yang adil dalam ilmu hadis bukan adil dalam sifat hakim, tapi adil pada perawi adalah orang yang baik dua hal pada dirinya, yaitu baik agamanya dan baik muruahnya. Baik agamanya yaitu tidak diketahui ada cela dalam menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim, seperti menjaga salat jamaah bagi laki-laki, tidak minum minuman keras, tidak suka berbohong dan sebagainya. Sedangkan muruah, misalnya ia salat ke masjid memakai pakaian yang rapi dan sopan seperti jubah dan baju koko, jika ia hanya memakai kaos saja atau tidak memakai kopiah maka dalam pandangan masyarakat muruahnya kurang. Atau ia suka bicara yang tidak bermanfaat atau suka makan di pinggir jalan, dimana semua itu tidak haram, namun ia dianggap sifat yang tidak baik jika dilakukan oleh orang berilmu dan beragama.

Kedua, hafalan sempurna.

Perawi harus memiliki ingatan yang tajam, misalnya di suatu sekolah ada seorang guru baru. Guru baru tersebut diperkenalkan oleh kepala sekolah dengan guru-guru yang lain, anggaplah guru yang lain itu ada 30 orang. Kepala sekolah memperkenalkan setiap guru atau mereka memperkenalkan diri mereka dengan menyebutkan nama, tempat tanggal lahir, tempat tinggal sekarang dan nomor hp masing-masing. Hafalan  guru baru itu dikatakan sempurna ketika ia ingat semua nama majlis guru terebut, tempat dan tanggal lahir, tempat tinggal dan nomor hp mereka. Kalaupun salah hanya boleh salah sedikit, misalnya salah satu nomor hp mereka tertukar angka kesepuluh dengan angka kesebelas. Kalau tidak, maka hafalannya lemah, tidak bisa dimasukkan ke dalam perawi hadis sahih.

Ketiga, Sanad bersambung.

Maksudnya perawi yang satu mendapatkan hadis dari orang yang menyampaikan hadis yang ia riwayatkan secara langsung. Dapat diketahui dengan penuturan perawi  bahwa ia mendengar langsung gurunya menyampaikan hadis atau diketahui mereka pernah bertemu, setidaknya antara perawi yang satu dengan yang diatasnya hidup pada satu zaman.

Keempat, Tidak menyelisihi riwayat perawi yang lebih kuat darinya.

Kita ambil misal yang ada dalam kehidupan kita. Si A menghafal 30 juz Alquran, ketika ia diminta menyetorkan semua hafalannya maka tidak ada satupun yang salah atau ada salah tapi hanya satu atau dua, itupun kesalahan ringan. Kemudian si B juga hafal 30 juz, ketika ia menyetorkan semua hafalannya maka ia salah tiga atau empat kali. Jelas disini si A lebih kuat hafalannya dari si B, anggap pada suatu hari si B membaca suatu ayat anggaplah surat Az Zariyat ayat 30,  kemudian si A juga membaca ayat yang sama, tapi ayat yang mereka baca berbeda. Si A membaca ‘innahu huwal hakimul a’lim’ sedangkan si B membaca ‘innahu huwal a’limul hakim’, disini jika tidak bisa kita memastikan mana yang benar dari kedua bacaan itu, misalnya kita berada di hutan dan tidak membawa mushaf, maka keputusan yang benar diberikan kepada si A, sedangkan si B dianggap menyelisihi si A. Atau hafalan mereka sama kuat, tapi di agama atau muruahnya berbeda, maka yang lebih rendah dianggap menyelisihi yang lebih tinggi. Begitu juga jika seorang perawi menyelisihi dua atau tiga perawi yang sama tingkatan dengannya, maka yang lebih banyaklah yang diambil, sedangkan yang seorang dianggap menyelisihi perawi yang lebih kuat.

Kelima, tidak cacat berat.

Cacat yang dimaksud adalah adanya sesuatu pada hadis, baik sanad atau matan yang membuat ia tidak diterima, untuk mengetahui cacat ini butuh kajian mendalam, oleh sebab itu adakalanya secara zahirnya sebuah hadis sahih, tapi ternyata setelah diteliti ada cacatnya, setelah cacat tersebut diketahui, maka ia tidak lagi disebut hadis sahih.

2. Hadis Hasan.

Hadis yang derajatnya dibawah hadis sahih dan kita meyakininya dari Nabi shalallahu alaihi wasallam. Perbedaannya dengan hadis sahih ada pada kekuatan hafalan perawi, jika pada hadis sahih hafalan perawinya sempurna, dapat menghafal data diri 30 orang baru hingga nomor hpnya, sedangkan perawi hadis hasan hafalannya lebih rendah. Misalnya ia tertukar alamat antara guru pertama dengan guru kedua atau salah pada menghafal nomor hp beberapa kali, tapi kesalahannya tidak fatal dan tidak banyak.

3. Hadis Daif.

Hadis daif  adalah hadis yang lemah, keyakinan kita lemah kalau ia berasal dari Nabi shalallahu alaihi wasallam atau kita meragukan itu adalah hadis.  Hadis daif tidak memenuhi syarat hadist sahih, tidak pula hasan. Misalnya perawinya dikenal suka bohong, pelupa, jarang salat berjamaah dan sifat buruk lainnya.

4. Hadis palsu.

Ia adalah hadis yang kita yakini sudah pasti bukan dari Nabi shalallahu alaihi wasallam. Hanya saja orang-orang menyebutnya hadis, padahal bukan. Seperti ucapan : puasalah, kamu akan sehat atau kebersihan sebagian dari iman atau tuntutlah ilmu walau sampai ke negri Cina atau makanlah sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Semua ucapan itu bukanlah hadis, bisa jadi itu ucapan seseorang namun disangka hadis atau memang ada orang yang sengaja mengucapkannya dan mengatakan itu hadis, orang awam yang tidak tahu ilmu hadis biasanya mengekor saja.

Dari keempat jenis hadis di atas hanya hadis shahih dan hasan saja yang boleh dijadikan dasar hukum, sedangkan hadis daif dan palsu tidak boleh digunakan. Namun untuk hadis daif terdapat pendapat ulama tentangnya.

Syaikh Shaleh Al Utsaimin rahimahullah berkata : hadis daif tidak boleh dibawakan atau dibacakan kecuali dijelaskan hukum kedaifannya, karena orang yang menukil hadis daif tanpa menjelaskannya pada masyarakat awam termasuk kedalam golongan pendusta terhadap Nabi shalallahu alaihi wasallam Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

 

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

Siapa yang membacakan sebuah hadis dan tahu itu adalah kedustaan, maka ia termasuk para pendusta. (HR. Muslim)

 

Dan pada hadis lain Beliau bersabda :

 

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Siapa yang berdusta atas namaku, maka ia telah menempah tempat duduknya di neraka kelak. (HR. Bukhari)

 

Namun para ulama membolehkan meriwayatkan hadis daif dengan 4 syarat :

 

1. Isi hadis tersebut dalam bab targib (motivasi untuk berbuat ketaatan) atau tarhib (ancaman untuk tidak melakukan kemaksiatan).

2. Hanya hadis daif ringan, jika daif sedang tidak dibolehkan walaupun dalam bab targib dan tarhib.

3. Harus ada dasar dari Alquran atau hadis sahih, misalnya anjuran untuk berbakti kepada orang tua atau motivasi untuk membaca Alquran, karena kedua hal itu ada dasar yang sahih.

4. Tidak beranggapan hadis tersebut berasal dari Nabi shalallahu alaihi wasallam shalallahu alaihi wasalam.[2]

 

Imam Muslim rahimahullah menyatakan : wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui mana riwayat yang sahih dan mana yang cacat.[3] Kemudian beliau membawakan sebuah hadis tentang larangan untuk menyampaikan semua yang kita dengar :

 

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukuplah seorang dianggap pendusta jika ia menyampaikan semua yang ia dengar.

 

Oleh karena itu tidak layak bagi kita terutama para mubalig menyampaikan semua yang kita dengar, karena belum tentu ia sebuah kebenaran. Kita mesti mengetahui riwayat yang sahih dan riwayat yang cacat, sehingga kita tidak mencampur adukkan antara kebenaran dan kebatilan.

 

A. Hassan rahimahullah menyebutkan pembagian hadis lemah (daif) dan menjelaskan hukum berdalil dengannya :

 

Hadis lemah terbagi 3:

1. Lemah sangat berat, hadis ini tidak boleh dipakai

2. Lemah sedang, hadis ini juga tidak boleh dipakai

3. Lemah ringan

Hadis lemah ringan ini ada yang membolehkan jika berbicara tentang fadhailul a'mal (motivasi untuk melakukan ketaatan)

Kita harus tahu dan mengerti bahwa hadis lemah itu adalah hadis yang tidak dapat diterima atau meragu-ragukan untuk diterima. Kalau hadis yang sudah nyata tidak dapat diterima itu dipakai maka itu suatu keganjilan, sakalipun berhubungan dengan fadhailul amal, karena kalau kita pakai atau berpegang kepadanya berarti kita berpegang kepada sesuatu yang belum tentu benar atau meragu-ragukan. Patutkah kita berpegang kepada yang meragukan, padahal Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda " tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kepada yang tidak meragukan" (HR. Ahmad)

Kalau kita pakai hadis lemah itu, berarti kita harus percaya kepada isi hadis itu, padahal belum tentu banar atau meragukan, berarti pula kepercayaan kita belum tentu benar atau meragu-ragukan. Apakah kita mau mempunyai kepercayaan yang demikian? Jawabnya tentu tidak.[4]



[1] Syaikh Shalih Al Utsaimin/Musthalahul Hadits/Al Ahad

[2] Syaikh Shalih Al Utsaimin/Syarhu Al Manzhumah Al Baiquniyah Fi Musthalahul Hadisti/ Daif Wa Aqsamuhu

[3] Muslim bin Al Hajjaj/Shahih Muslim/Mukaddimah/Wujubir Riwayah An Atsiqat Wa Tarku Al Kazibin Wat Tahzir Minal Kazibi Ala Rasulillah Shalallahu Alaihi Wasalam.

[4] A. Hassan/ Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama/Tahmied Di Ilmu Hadiets.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajib Diketahui Oleh Pecinta Sepak Bola...

Ada apa dengan kostum sepak bola? Sepak bola merupakan olah raga yang paling banyak penggemarnya, setiap penggemar memiliki klub dan pemain faforit. Terkadang semua aksesoris yang bertuliskan nama dan gambar klub atau pemain idolapun menjadi koleksi wajib bagi para pecinta sepak bola. Nah, bagaimana bila kita sebagai seorang muslim menjadi penggemar klub  atau pemain yang kafir kemudian membeli pernak-pernik yang berkaitan dengan mereka terutama kostum yang mengandung unsur atau lambang agama dan keyakinan mereka seperti lambang salib dan setan merah? Jika kita perhatikan terdapat beberapa kostum tim sepak bola yang mengandung unsur salib seperti Barcelona, AC Milan, Timnas Brazil, Timnas Portugal, Intermilan, sedangkan lambang setan terdapat pada  MU.  Meskipun begitu masih banyak kaum muslimin yang tidak memperdulikan hal ini khususnya Indonesia. Berbeda dengan dua Negara bagian Malaysia beberapa tahun yang lalu telah melarang hal ini. Dewan Keagamaan Johor d

Mengisi Ramadan dengan nasyid

  Dalam KBBI nasyid diartikan sebagai lagu yang mengandung unsur keislaman, sedangkan dalam kamus “ Lisanul Arab ” nasyid artinya menyanyikan syair. Dari dua pengertian ini dapat kita pahami bahwa nasyid adalah lagu atau nyanyian. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Hakim hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya bahwa nasyid yang sekarang itu adalah nyanyian, bukan seperti yang dibaca oleh para sahabat saat menggali parit atau saat perang, yang mereka baca adalah syair.     Kita sama-sama tahu bahwa membaca syair oleh orang arab memiliki cara tersendiri, jika dicari persamaannya di Indonesia maka membaca syair serupa dengan membaca pantun atau puisi. Apakah membaca puisi atau pantun sama dengan cara menyanyikan nasyid atau kasidah itu? Jawabnya jelas tidak sama. Lalu apa hukum menyanyikan nasyid? Syaikh Shaleh Al Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video tanya jawab menyebutkan “kami tidak menemukan pensyariatannya, jika nasyid tersebut tidak disandarkan

Kita pasti berpisah, semoga esok kembali berkumpul

Dalam menjalani kehidupan ini terkadang kita harus pergi, pergi jauh dari kampung halaman. Banyak tujuan yang kita bawa, ada yang menuntut ilmu, ada yang mencari nafkah dan tujuan lainnya. Walau apapun tujuannya, ke manapun perginya, pasti ia merindui kampung halamannya, pasti ia merindukan orang-orang yang disayangi, ingin kembali berkumpul dengan keluarga, sebab di sana ada kebahagiaan. Keindahan dan kedamaian itu ada di kampung halaman, ketika hati gelisah maka pulanglah, ada orang tua di sana, ada sanak saudara, ada sawah yang berjenjang dilengkapi burung-burung yang berbondong, ada sungai  beserta suara gemerciknya dan bebukitan dengan pohong-pohon yang menghijau. Indah dan damai.   Kita pasti kembali   Ibnu Umar  rhadiyallahu anhuma   berkata bahwa Rasulullah  shalallahu alaihi wasallam   bersabda :   كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاء