Langsung ke konten utama

Pentingnya beramal dengan ilmu

Mengapa kita harus berilmu sebelum beramal? Dalam melakukan sesuatu kita harus tahu untuk apa kita melakukannya dan bagaimana cara melakukannya yang benar. Jangan beramal tanpa ilmu, jangan berbuat tanpa ilmu, seandainya saja kita membeli obat ke apotek tanpa resep dokter dan tidak tahu jenis obat yang akan kita minum, mungkin dapat menambah penyakit baru atau kita tahu obatnya tapi tidak tahu dosisnya, ini juga berbahaya.


 

Sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari kita butuh ilmu, kita juga butuh ilmu dalam beragama, bahkan lebih butuh. Untuk mengendarai mobil kita harus tahu ilmu menyetir, tahu rambu-rambu lalu lintas, kalau tidak mengilmuinya boleh jadi  gas kita sangka rem. Dalam beragama kita jauh lebih butuh ilmu, sebab amalan tanpa ilmu dapat merusak ibadah, bahkan bisa saja ibadah kita ditolak dan kita mendapatkan dosa, bukan pahala.

Maka jelaslah bagi kita bahwa ilmu adalah jalan selamat atau tidaknya kita di akhirat nanti. Tujuan penciptaan kita adalah menghambakan diri atau beribadah untuk Allah taala sebagaimana firman-Nya :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah padaku (Qs. Az Zariyat : 56)

Sedangkan ibadah adalah “melakukan segala perbuatan yang disukai Allah talaa”  Bagaimana agar Allah taala menyukai amalan kita? Dengan mengetahui  perintah dan larangan-Nya yang tercantum dalam dalil-dalil, dalil-dalil itu dipahami dengan cara yang benar, itulah ilmu.

 

Akibat buruk tidak berilmu dalam beramal

Kita akan melihat beberapa contoh kejadian nyata dari hadis Nabi shalallahu alaihi wasallam karena tidak mengetahui suatu hukum dan akibatnya :

Pertama, membatalkan ibadah.

Dalam Alquran disebutkan : makan dan minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dengan benang hitam di kala fajar. (Qs. Al Baqarah : 187).

Maka Ady bin Hatim rhadhiyallahu anhu  berkata pada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam : Wahai Rasulullah shalallahu alaihi wasallam aku meletakkan dibawah bantalku dua tali, yang satu putih dan satu lagi hitam, darinya aku dapat membedakan malam dan siang. Mendengar itu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjawab :

إِنَّمَا هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ، وَبَيَاضُ النَّهَارِ

Maksudnya hitam itu kegelapan malam dan putih adalah terangnya siang. (HR. Muslim)

Dalam hadis lain disebutkan bahwa sebagian sahabat mengambil dua benang, putih dan hitam, mereka tetap makan sampai jelas benang putih dari benang hitam, jika hari terang dan sudah jelas bedanya, barulah mereka berhenti makan. Ketika mereka salah paham, turunlah ayat “minal fajr” yaitu waktu fajar.

Kita dapat melihat akibat dari kekeliruan itu, bisa saja mereka tetap makan padahal waktu sahur sudah berakhir. Jika waktu salat subuh telah masuk dan kita masih makan tentu puasa tidak sah. Dalam riwayat lain, Abu Hurairah rhadhiyallahu anhu mengatakan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam masuk masjid, kemudian masuk pula seorang laki-laki ke dalam masjid dan ia melaksanakan salat, kemudian ia menemui Nabi shalallahu alaihi wasallam Nabi shalallahu alaihi wasallam berkata :

ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

Kembalilah, sesungguhnya kamu belum salat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Lelaki itu kembali salat dan menemui Nabi shalallahu alaihi wasallam tapi Nabi shalallahu alaihi wasallam mengatakan hal yang sama. Akhirnya ia berkata : aku tidak tahu cara salat yang lebih baik dari yang aku lakukan tadi. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa ia harus tumakninah dalam setiap gerakan salat, jika tidak ada tumakninah maka salatnya tidak sah.

 

Kedua, ibadah yang seharusnya sah dianggap batal

Dalam suatu riwayat Abu Hurairah rhadhiyallahu anhu berkata :

مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُبًا فَلَا يَصُمْ

Siapa yang mendapati waktu fajar dan dia dalam keadaan junub, maka jangan puasa.

Maksud dari ‘jangan puasa’ adalah puasanya tidak sah, sahabat lain yang mendengar itu merasa heran, benarkah yang dikatakan Abu Hurairah rhadhiyallahu anhu tersebut? Benarkah orang yang berjunub dan masuk waktu subuh puasanya tidak sah. Maka mereka pergi menemui Aisyah rhadhiyallahu anha beliau menjawab :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ، ثُمَّ يَصُومُ

Dulu Nabi shalallahu alaihi wasallam masuk waktu subuh dan beliau dalam keadaan junub, kemudian beliau berpuasa. (HR. Muslim)

Setelah itu mereka sampaikan ke Abu Hurairah rhadhiyallahu anhu apa yang mereka dapatkan dari Aisyah rhadhiyallahu anha maka Abu Hurairah rhadhiyallahu anhu berkata : Aisyah lebih tahu dariku.

Coba bayangkan jika pemahaman Abu Hurairah rhadhiyallahu anhu itu ada di salah seorang diantara kita, pada siang hari suami-istri haram berhubungan, kemudian malamnya ia salat Isya, dilanjutkan mendengarkan ceramah dan salat tarawih, setelah salat tarawih ia berkunjung ke rumah saudara atau temannya, kemudian pulang. Sampai di rumah sudah jam sebelas malam, kemudian dia datangi istrinya dan iapun junub. Kemudian ia tidur, jam empat ia bangun makan sahur, karena masih mengantuk dan kelelahan ia merebahkan badan, tiba-tiba terdengar suara azan dan dia belum mandi. Tentu ia akan sangat menyesal, bisa jadi besok dan seterusnya  selama Ramadan ia akan menjauhi istrinya, baik siang mapun malam.

 

Ketiga, menyusahkan kita.

Ammar bin Yasir  rhadiyallahu anhuma memahami tayamum untuk junub dengan cara yang lain, ia berkata :

بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ، فَأَجْنَبْتُ فَلَمْ أَجِدِ المَاءَ، فَتَمَرَّغْتُ فِي الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengutusku untuk suatu keperluan, akupun junub dan tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana hewan berguling-guling. (HR. Bukhari dan Muslim)

Mengapa Ammar rhadhiyallahu anhu melakukan hal itu? Karena yang ia tahu ketika seseorang berjunub maka ia harus mandi, seluruh tubuhnya disiram rata dengan air. Dia juga tahu ketika tidak ada air untuk bersuci maka diganti dengan tayamum, dari situ Ammar beranggapan bahwa ia harus bertayamum dengan melumuri seluruh tubuhnya dengan tanah atau debu.

Setelah Ammar  rhadhiyallahu anhu kembali ia melaporkan apa yang telah ia lakukan kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam Nabi shalallahu alaihi wasallam menjelaskan cukup baginya untuk bertayamum seperti biasa, yaitu tayamum pengganti wudhu. Bertayamum sangat mudah sekali, tapi karena Ammar tidak tahu maka ia telah menyusahkan dirinya dengan berguling-guling di tanah.

Keempat, melakukan ibadah bukan pada waktunya.

Saat khutbah Idul Adha Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menyatakan bahwa berkurban itu setelah salat Id, maka Abu Burdah rhadhiyallahu anhu berkata :

يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنِّي نَسَكْتُ شَاتِي قَبْلَ الصَّلاَةِ

Wahai Rasulullah aku menyembelih kambingku sebelum salat.

Mengapa Abu Burdah rhadhiyallahu anhu melakukan hal itu? Karena ia ingin kambingnya yang pertama kali disembelih, ini adalah sebuah semangat dalam ibadah, tapi salah. Ia bertanya lagi kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam apakah ia diberi pahala kurban atas sembelihannya?

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjawab :

نَعَمْ وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ

Ya, dan tidak akan dibalas seorangpun setelahmu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menegaskan lagi bahwa hewan kurban disembelih setelah salat, Abu Burdah rhadhiyallahu anhu dimaafkan, siapa saja yang menyembelih hewan kurbannya sebelum salat maka itu tidak dianggap kurban, tapi sembelihan biasa dan sedekah biasa.

Ada ibadah yang ditetapkan waktunya, ada ibadah yang ditetapkan tempatnya, jika waktunya ditukar atau tempatnya dikisar maka ibadah tersebut tidak sah. Oleh sebab itu mari kita ilmui ibadah yang kita jalankan agar diterima disisi Allah taala.

Kelima, dapat mencelakan diri.

Jabir rhadiyallahu anhu menyatakan :

خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ، ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ: هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ؟ فَقَالُوا: مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ: قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ، إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ  أَوْ يَعْصِبَ َعلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً، ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ

 

Suatu hari kami bersafar, kemudian salah seorang diantara kami ditimpa batu dan kepalanya retak, setelah itu ia mimpi basah. Ia bertanya pada teman-temannya : adakah keringinan untukku agar bertayamum? Mereka menjawab : tidak ada keringanan bagimu, kamu sanggup menggunakan air. Iapun mandi wajib dan meninggal. Setelah kami menemui Nabi shalallahu alaihi wasallam dan memberitahukan hal itu, maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata : mereka telah membunuhnya, semoga Allah binasakan mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu! Sesungguhya obat kebodohan adalah bertanya, seharusnya cukup baginya bertayamum saja dan mengikat atau membalut bagian yang luka kemudian mengusapnya, baru membasuh bagian tubuh lainnya. (HR. Abu Daud)

Mungkin banyak lagi kejadian lain yang karena tidak ada ilmunya akan membahayakan diri sendiri, sebagaimana kami pernah dengar atau baca di daerah pedalaman, sebagian umat Islam menyunat anaknya dengan memotong bagian yang cukup panjang dan itu membayakan diri yang disunat.

Pernah juga kami mendapati ada orang yang membayar zakat ke masjid, padahal masjid bukanlah para penerima zakat. Kami juga menemui orang yang menganggap sepupu dari jalan ayah adalah mahram karena sedarah, padahal sepupu baik dari ayah atau ibu bukanlah mahram.

Bagaimana perhatian ulama tentang berilmu sebelum beribadah? Imam Al Bukhari rahimahullah dalam kitab sahihnya membuat satu bab :

بَابٌ: العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلِ

Bab : berilmu sebelum beramal.

Imam As Syatiby rahimahullah membawakan  perkataan Ibn Wahb dari Sufyan rahimahullah ia berkata : Ucapan tidak akan lurus kecuali ketika ia diamalkan,  ucapan dan amalan tidak akan lurus kecuali dengan keikhlasan niat. Sedangkan ucapan, amalan dan niat tidak akan lurus kecuali selaras dengan sunnah.[1]

Selaras dengan sunnah, artinya harus dengan ilmu, oleh karena itu mari kita belajar, mari bertanya, mari membaca, karena obat ketidaktahuan adalah belajar. Adanya ilmu sebelum beramal sangatlah penting.




[1] Imam As Syatiby/Al I’tisham/Al Wajh Astsalis Minan Naql, Ma Jaa Anis Salaf As Shalih Minas Shahabah Wat Tabiin Rhadiyayallahu Anhum Fi Zammil Bida’ Wa Ahli Hawa Wa Huwa Katsir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajib Diketahui Oleh Pecinta Sepak Bola...

Ada apa dengan kostum sepak bola? Sepak bola merupakan olah raga yang paling banyak penggemarnya, setiap penggemar memiliki klub dan pemain faforit. Terkadang semua aksesoris yang bertuliskan nama dan gambar klub atau pemain idolapun menjadi koleksi wajib bagi para pecinta sepak bola. Nah, bagaimana bila kita sebagai seorang muslim menjadi penggemar klub  atau pemain yang kafir kemudian membeli pernak-pernik yang berkaitan dengan mereka terutama kostum yang mengandung unsur atau lambang agama dan keyakinan mereka seperti lambang salib dan setan merah? Jika kita perhatikan terdapat beberapa kostum tim sepak bola yang mengandung unsur salib seperti Barcelona, AC Milan, Timnas Brazil, Timnas Portugal, Intermilan, sedangkan lambang setan terdapat pada  MU.  Meskipun begitu masih banyak kaum muslimin yang tidak memperdulikan hal ini khususnya Indonesia. Berbeda dengan dua Negara bagian Malaysia beberapa tahun yang lalu telah melarang hal ini. Dewan Keagamaan Johor d

Mengisi Ramadan dengan nasyid

  Dalam KBBI nasyid diartikan sebagai lagu yang mengandung unsur keislaman, sedangkan dalam kamus “ Lisanul Arab ” nasyid artinya menyanyikan syair. Dari dua pengertian ini dapat kita pahami bahwa nasyid adalah lagu atau nyanyian. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Hakim hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya bahwa nasyid yang sekarang itu adalah nyanyian, bukan seperti yang dibaca oleh para sahabat saat menggali parit atau saat perang, yang mereka baca adalah syair.     Kita sama-sama tahu bahwa membaca syair oleh orang arab memiliki cara tersendiri, jika dicari persamaannya di Indonesia maka membaca syair serupa dengan membaca pantun atau puisi. Apakah membaca puisi atau pantun sama dengan cara menyanyikan nasyid atau kasidah itu? Jawabnya jelas tidak sama. Lalu apa hukum menyanyikan nasyid? Syaikh Shaleh Al Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video tanya jawab menyebutkan “kami tidak menemukan pensyariatannya, jika nasyid tersebut tidak disandarkan

Kita pasti berpisah, semoga esok kembali berkumpul

Dalam menjalani kehidupan ini terkadang kita harus pergi, pergi jauh dari kampung halaman. Banyak tujuan yang kita bawa, ada yang menuntut ilmu, ada yang mencari nafkah dan tujuan lainnya. Walau apapun tujuannya, ke manapun perginya, pasti ia merindui kampung halamannya, pasti ia merindukan orang-orang yang disayangi, ingin kembali berkumpul dengan keluarga, sebab di sana ada kebahagiaan. Keindahan dan kedamaian itu ada di kampung halaman, ketika hati gelisah maka pulanglah, ada orang tua di sana, ada sanak saudara, ada sawah yang berjenjang dilengkapi burung-burung yang berbondong, ada sungai  beserta suara gemerciknya dan bebukitan dengan pohong-pohon yang menghijau. Indah dan damai.   Kita pasti kembali   Ibnu Umar  rhadiyallahu anhuma   berkata bahwa Rasulullah  shalallahu alaihi wasallam   bersabda :   كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاء